Saturday, August 22, 2015

[Cerbung] The Condition EP. 5 [Finale] By @noeranggadila

weheartit.com

Hari mulai semakin malam rupanya, namun tak ada satu pun yang menyadari karena mereka berada di dalam ruangan berlampu yang sejak kedatangan, ah mungkin sebelum kedatangan Eun Ji sudah menyala terang. Sangat terang seakan hari takkan pernah berganti.

Eun Ji menatap sekilas Seung Jae. Dengan anggukan mantap, Eun Ji menjawab, “Tentu saja, aku merindukannya, sangat.”

Seung Jae membenarkan letak duduknya yang kini tengah bersandar di atas ranjang.

“Memangnya apa penyakit yang diderita JJ?” Seung Jae bertanya seperti tengah mengorek informasi lebih dalam lagi.
“Aku tak tahu pasti, dia tak pernah mau memberitahuku setiap kali aku bertanya. Tapi pernah aku melihat hidungnya tiba-tiba mengeluarkan darah ketika kita sedang bermain di pantai, setelah itu dia harus istirahat di rumahnya untuk beberapa hari. Jadi aku harus bersabar menunggunya sembuh agar kita bisa bermain bersama kembali.”


Kedua mata Seung Jae mulai memanas, namun ia berusaha sekuat tenaga menahannya agar Eun Ji tak melihat. Seperti teringat kembali hal yang telah lama hilang, ada sesuatu dari pernyataan Eun Ji yang sukses membuatnya seperti ini.

“Ngomong-ngomong, orang tuamu kemana?”
“Mereka sibuk bekerja. Ah sudahlah, aku mau tidur.”

Ruangan tersebut, kamar Seung Jae, semakin lama semakin dingin saja. Semua perabot rumah seperti lemari, meja, dan kursi tertata rapi. Cat tembok berwarna kuning pastel dipadukan dengan beberapa lukisan abstrak yang kontras.

Tak sengaja, Eun Ji melihat ke arah Seung Jae yang belum juga memejamkan matanya. Seketika ia heran karena melihat mata Seung Jae yang berkaca-kaca.

“Ada apa dengan matamu? Kau menangis?”
“Sok tahu.” Langsung saja Seung Jae menutup kedua matanya meskipun dirinya belum benar-benar mengantuk.

Eun Ji hanya bisa menghembuskan nafas panjang. “Baiklah, istirahat sana. Aku pulang dulu.”

Setelah hari itu, hubungan Seung Jae dan Eun Ji semakin akrab, sangat akrab. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Meskipun hanya sekedar jalan-jalan di taman atau bahkan hingga ke wilayah Garuso-gil sambil membeli makan atau melakukan hal lainnya, tentunya setelah Eun Ji menyelesaikan tugasnya. Tentunya Seung Jae dibantu tongkat jalan dan selalu menggandeng tangan Eun Ji. Mereka juga sering mencicipi jajanan khas Korea Selatan seperti Tteokbokki[1]. Terkadang Seung Jae lupa akan penyakit yang dideritanya. Penyakit yang sudah masuk tahap stadium akhir. Tapi berkat Eun Ji, Seung Jae merasa menjadi remaja normal seperti yang lainnya.

Suatu pagi di hari minggu sekaligus hari libur bekerja, Eun Ji harus berusaha keras membawa tubuhnya untuk membukakan pintu karena tiba-tiba saja ia mendapatkan tamu di waktu yang mungkin matahari masih enggan untuk menaikkan posisinya. Jam di dinding kamar Eun Ji masih menunjukkan pukul tujuh pagi, dan itu masih terlalu pagi bagi Eun Ji untuk beranjak dari kasur. Dengan penampilan seadanya, jeans belel selutut dengan atasan sebuah sweater yang lengannya kepanjangan, serta wajah seadanya dan rambut yang terikat sekenanya, ia membukakan pintu.

Barulah ia benar-benar bisa terbangun saat mengetahui siapa tamu yang tega membuatnya terjaga sepagi ini. Seperti baru saja disiram seember penuh air dingin, kedua matanya tak merasakan kantuk sedikitpun.

“Apa yang kau lakukan datang sepagi ini?”
“Udara pagi itu baik untuk kesehatan, kau sendiri yang mengajariku.”
“Tapi haruskah hari ini? Hari dimana aku bisa menikmati waktu yang tersisa dengan bersantai di rumah sebelum akhirnya harus kembali lagi bekerja besok.”
“Bukankah ini termasuk hak pasien yag harus dipenuhi toh—”

Sebelum Seung Jae menyelesaikan kalimatnya, Eun Ji telah menariknya masuk ke dalam losmen dan menyuruhnya menunggu dia mandi dan berganti baju dahulu.

Hari itu mereka memutuskan untuk pergi ke wilayah perbukitan. Seung Jae hanya berkata bahwa dirinya sudah lama tak mendaki dan sekarang ingin sekali mendaki.

Musim panas tengah singgah di sebagian wilayah di Korea Selatan, khususnya di Seoul. Dan salah satu tempat yang akan ramai dikunjungi selain pantai adalah bukit, karena biasanya akan ada beberapa pertunjukan yang digelar di daerah perbukitan. Karena suhu sangat tinggi, jadilah mereka berdua menggunakan pakaian tipis agar dapat mengurangi produksivitas keringat.

“Kau ingin menyiksaku atau apa?!” Terlihat berulang kali Eun Ji menyeka keringat yang sudah membasahi wajahnya.

Sedangkan Seung Jae hanya bisa menampakkan senyum jahilnya.

“Kau tak tahu kalau ini beresiko tinggi, huh?!”

Seung Jae tetap tersenyum dan cepat-cepat menggandeng tangan Eun Ji, “Lekaslah bergerak!”

Pada akhirnya, Eun Ji hanya bisa pasrah menuruti permintaan pasiennya tersebut. Tentunya mereka tidak sendirian datang ke sana, ada supir dan seorang pembantu pribadi Seung Jae yang juga ikut namun hanya mengawasi dari jauh.

Perlahan, Eun Ji memerhatikan pria yang menggandeng tangannya itu, rambut hitam legam milik Seung Jae kini telah kandas karena efek kemoterapi yang ia jalani secara rutin, yang sekarang tengah ditutupi oleh sebuah topi berbulu. Mungkin penyakitnya belum hilang, namun semakin hari keadaannya mulai membaik, dan sejauh ini tak pernah terlihat tanda-tanda bahwa penyakitnya akan kambuh kembali.

Di tengah perjalanan pendakian, tiba-tiba Seung Jae meminta untuk rehat sejenak. Akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat di tempat yang telah disediakan.

Seung Jae maupun Eun Ji, keduanya sama-sama seperti diguyur keringat, segera mereka meneguk air yang telah mereka bawa dan menikmati perbekalan yang telah disiapkan dan sedari tadi berada pada tas punggung yang Eun Ji kenakan.

“Apakah kau sudah puas? Atau mau lanjut mendaki lebih ke atas lagi?” Eun Ji berkata dengan senyum yang dipaksakan.
“Kau sangat berambisi rupaya. Sepertinya cukup sampai tempat ini saja, kau ingin pasienmu menderita?”
“Apa?! Yang dari awal minta mendaki siapa sih sebenarnya?” Eun Ji mengekspresikan kekesalannya pada Seung Jae dengan berlaku seperti ingin mencengkram wajah Seung Jae. Sedangkan Seung Jae hanya bisa tertawa terpingkal.

Setelah keadaan kembali kondusif, tiba-tiba Seung Jae menjadi serius. Ia memalingkan wajahnya dari pemandangan sekitar menatap Eun Ji walaupun kedua matanya melihat kemana-mana.

“Apa yang akan kau katakan jika seandainya kau dapat bertemu kembali dengan JJ?”

Suasana menjadi hening. Eun Ji tidak ingin terburu-buru menjawabnya, ia mencoba mengamati keadaan sekitar yang penuh dengan pepohonan yang rindang, yang tak dapat ia nikmati di kota.

“Aku? Banyak yang sebenarnya aku ingin katakan dan tanyakan padanya. Terlampau banyak, tapi…”
“Tapi?”
“Tapi kadang aku ragu mengatakan banyak hal padanya, sedangkan bertemu dengannya saja tak ada jaminan, dan itu sering membuatku kecewa.”
“Tak ada salahnya berharap. Seperti diriku yang mengharapkan kesembuhan meskipun aku tahu itu semua juga tidak akan mungkin terjadi. Susah memang, namun aku tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.”

Eun Ji tersenyum mendengar kata-kata bijak dari Seung Jae.

“Andai sekarang ini, di tempat ini juga ada JJ, aku ingin mengatakan aku sangat merindukannya.”
“Hanya itu?”

Eun Ji diam sejenak dan menatap lekat-lekat Seung Jae

“Jangan pernah pergi jauh lagi, jangan pernah tinggalkan aku sendiri. Ha ha ha, kedengaran konyol sekali.”

Kalimat yang meluncur dari mulut Eun Ji sukses membuat Seung Jae diam terpaku, mulutnya terbungkam. Kalimat itu bagaikan sebuah lembing yang menohok tepat di dadanya. Terkadang ia ingin memberitahu semuanya, tapi terkadang ia hanya ingin diam saja.

Tiba-tiba ada cairan merah kental yang meluncur bebas keluar dari hidung Seung Jae.

“Astaga, hidungmu!” Dengan reflek, Eun Ji segera mencari tisu di dalam tas yang ia bawa dan segera mengusap hidung Seung Jae yang berdarah.
“Sudahlah aku tidak –,” kalimatnya terputus, Seung Jae jatuh terkapar dan kepanikan menyerbu seluruh tubuh Eun Ji.

Sejak hari itu, Seung Jae tak lagi bisa keluar rumah, bahkan ia terpaksa dipindahkan ke rumah sakit lagi untuk menjalani perawatan yang lebih intensif. Karena keadaannya koma, tak ada yang diperbolehkan memasuki ruangannya kecuali dokter dan perawat Seung Jae saja. kebetulan yang menanganinya kali ini bukan Eun Ji, jadi dirinya hanya bisa mengawasi dari luar ruangan, mengintip melalui celah kaca yang ada pintu kamar pasien.

Untuk beberapa hari aktifitas Eun Ji kembali normal, karena untuk sementara waktu dia tidak lagi menjadi ‘dokter pribadi’ Seung Jae. Jadilah, ia fokus pada pekerjaannya di rumah sakit saja.

Sore itu, pekerjaan Eun Ji tuntas lebih awal. Ia memutuskan untuk mengunjungi Seung Jae. Setelah sampai di depan ruangan Seung Jae, alangkah terkejutnya dia melihat ruangannya rapi dan kosong, bertanda bahwa tak ada pasien yang dirawat di sana. Lekas ia tanyakan keberadaan Seung Jae kepada bagian informasi.

“Dia sudah tidak dirawat di rumah sakit ini lagi sejak beberapa jam lalu.”
“Memangnya ada apa?”
“Orang tuanya ingin membawanya ke Amerika untuk mendapatkan perawatan di sana.”

Tanpa pikir panjang, Eun Ji langsung menuju pemberhentian bus terdekat dan meluncur ke bandara. Pikirannya kacau, kenapa tak ada yang memberitahunya kalau Seung Jae akan ke Amerika?

Sesampainya di bandara ia lari kalang kabut mencari keberadaan Seung Jae meskipun ia tahu kemungkinan menemukannya sangatlah kecil, namun ia tak lagi perduli. Semakin kuat ambisinya untuk menemukan Seung Jae, semakin kuat pula rasa putus asa menyerbunya bertubi-tubi. Akhirnya ia hanya bisa duduk lemas di kursi tunggu. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya. Seung Jae kaget dan langsung menengadahkan kepalanya. Rasa kaget bercampur marah sekaligus senang menjadi satu saat di depannya sekarang duduklah Seung Jae di sebuah kursi roda, bersama kedua orang tua Seung Jae.

“Mianata, aku tak sempat memberitahumu.”

Langsung saja Eun Ji memeluk erat Seung Jae. Perlahan air matanya meluncur membasahi kedua pipinya.

“Kami sangat berterimakasih padamu karena telah merawat JJ selama ini.” [ ]

TAMAT




[1] Kue beras pedas yang merupakan camilan yang terbuat dari kue beras rebus yang dipotong-potong dan disajikan dalam saus pedas yang sudah dibumbui.

0 comments:

Post a Comment

 

Keep Moving! Template by Ipietoon Cute Blog Design