Ini pengalaman pertamaku dan semoga menjadi
pengalaman terakhirku juga :)
Tidak pernah terfikirkan sebelumnya bila
pada saat Hari Raya Idul Fitri 1440 H, hamba yang banyak dosa bernama Noer
Anggadila akan jatuh sakit dan harus opname. Aku berfikir diare yang aku alami
selama bulan puasa kemarin hanyalah sebuah penyakit diare yang umum terjadi,
meskipun itu terjadi padaku selama kurang lebih satu minggu, lama tidak?
Aku anggap aku baik-baik saja, karena
setelah masa diareku lewat, aku kembali sehat seperti sedia kala.
Lalu disinilah semuanya dimulai.
[Jogja, Selasa, 4 Juni 2019] Pagi menuju siang setelah selesai mencuci beberapa lembar kain,
tubuhku merasa kelelahan dan kuputuskan untuk pergi beristirahat, tidur. Saking
lelahnya atau memang akunya yang acuh tak acuh, aku pun tidak membenarkan
posisi tidurku. Tidur dengan posisi ujung kaki menggantung. Ketika aku
terbangun, aku merasa suhu tubuhku meninggi, aku merasa pusing. Namun karena
hari itu adalah hari terakhir puasa maka aku harus menunggu waktu berbuka untuk
dapat meminum obat pereda panas.
Setelah waktu berbuka tiba, aku makan dan
minum obat dan suhu tubuhku kembali, tapi itu tidak lama. Beberapa saat
setelahnya, aku mulai merasakan suhu tubuhku kembali naik, meskipun tak setinggi tadi. Aku pun
memutuskan untuk segera beristirahat kembali, jadi setelah salat isya’ aku
segera pergi tidur.
Aku pikir ini terjadi karena kelelahan
dan terlalu memikirkan tugas kuliah yang tak kunjung selesai serta
pikiran-pikiran lainnya.
[Jogja, 5 Juni 2019] Keesokan harinya, aku terbangun dengan suhu tubuh yang sedikit
meninggi, maka setelah makan secukupnya dan minum obat, suhu tubuhku kembali
turun. Alhamdulillah, aku bisa melaksanakan salat Idul Fitri bersama
keluarga. Sekembalinya dari salat dan ziarah kubur, kami kembali ke rumah dan
melakukan tradisi “saling memaafkan” sesama keluarga di rumah, pada Bapak,
Ibuk, Adik, Paklik (Om), Bulik (Tante), kedua sepupu, dan kakek. Ya, ini adalah
hari raya pertama tanpa Alhm. Nenek (ibu dari bapak), Allah panggil beliau
beberapa bulan lalu sebelum hari raya.
Sudah menjadi tradisi di Indonesia bila
pada saat Hari Raya Idul Fitri kami akan pergi ke rumah sanak saudara. Maka
setelah itu kami—aku, adik, bapak, ibuk, kedua sepupu berangkat untuk
bersilaturahim yang letaknya berjauhan. Paklik dan Bulik yang biasanya juga ikut
kali ini tidak bisa lagi karena harus menjaga kakek di rumah.
Namun tidak hanya kami, keluarga dari
budhe (kakak dari bapak), yang keempat anaknya telah melepas masa lajang juga
turut ikut bersilaturahim bersama, jadilah kami seperti konvoi dengan 3 mobil,
ah tidak juga sih hehehe.
Hari mulai beranjak siang dan suhu
tubuhku mulai kembali naik dan hal tersebut tentunya juga ikut andil dalam
mengubah mood-ku. Disaat banyak hidangan yang disajikan, aku hanya memilih
untuk meminum segelas air mineral. Semua makanan yang aku makan mulai terasa
aneh dan itu pertanda aku benar-benar sakit.
Sempat beberapa kali minum obat tapi hal
itu tidak membantu banyak. Acara silaturahim selesai hingga malam, sekitar
pukul 8 kami kembali ke rumah dan panas badanku tak kunjung turun, akhirnya
orangtuaku berinisiatif untuk membawaku ke UGD terdekat. Bapak yang
memboncengku dengan sepeda motor milik paklik.
Oh ya, disaat kami bersilaturahim tadi,
mengetahui aku tidak enak badan, para sepupu bergantian menanyakan keadaanku,
meskipun tidak semuanya tapi hal itu membuatku senang sekaligus terharu :’) oke
aku memang cengeng.
Setelah periksa di UGD, aku mendapatkan 3
jenis obat berbentuk tablet. Pada saat pertama kali aku meminum obat tersebut,
malam itu juga, reaksi obatnya sangat cepat, suhu tubuhku kembali normal dan
itu bertahan lumayan lama hingga aku akhirnya memutuskan untuk tidur.
[Jogja, 6 Juni 2019] Esoknya, kami– aku, adik, ibuk, dan bapak, bersiap-siap untuk
meninggalkan Jogja menuju Nganjuk, kota kelahiran ibuku. Biasanya kami akan
berangkat saat matahari belum terlihat agar jalanan sepi namun karena aku tidak
enak badan akhirnya kami berangkat setelah sarapan pagi. Jalanan terpantau
ramai lancar. Kami sampai di Nganjuk pada siang hari dengan suhu tubuhku yang
kembali naik, akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat. Ternyata reaksi obat
yang kudapat dari UGD tidak lagi semanjur pada awalnya.
[Nganjuk, 7 Juni 2019] Hari ini Bapak, Ibuk, dan Adik bersilaturahim ke rumah saudara
tanpa diriku karena tidak lagi memungkinkan untuk aku turut ikut. Demam ini
selalu datang ketika hari beranjak siang. Setelah selesai bersilaturahim,
orangtuaku khawatir padaku karena demamku tak kunjung turun, akhirnya sekitar
pukul 4 sore bila aku tidak salah, mereka bersama omku membawaku ke Laboraturium
untuk mengetahui lebih detail tentang penyakit apa yang sebenarnya aku alami.
Sayang, laboraturium yang berada dekat dengan rumah nenekku sudah tutup saat
aku ke sana, dan mereka menyarankan untuk membawaku ke laboraturium yang ada di
kota. Jarak rumah nenekku ke kota tidaklah dekat, kami harus melewati jalanan
yang tidak rata dan berdebu. Demamku semakin menjadi. Butuh waktu kira-kira
lebih dari setengah jam untuk sampai ke laboraturium yang berada di kota.
Sesampainya disana, aku langsung disuruh untuk berbaring di ranjang pasien
untuk kemudian dicek tensi darahku, suhu tubuhku, dan terakhir mereka mengambil
sampel darahku untuk diperiksa. Setelah kurang lebih setengah jam sampai satu
jam, hasil lab keluar dan aku dinyatakan positif terkena Tifus, atau biasanya
dikenal dengan Tipes. Pada malam itu juga, orangtuaku memutuskan untuk aku
harus rawat inap. Maka sepulangnya dari lab, kami kembali pulang ke rumah nenek
untuk mempersiapkan barang-barang yang dibutuhkan, setelah itu kami minus om,
pergi ke puskesmas kecamatan, dekat dengan rumah nenek. Sesampainya disana,
setelah dilakukan pemeriksaan seperti biasa dan menyerahkan hasil lab, maka
perawat memasangkan infus ke tangan kiriku. Inilah pertama kalinya aku
dipasangi selang infus. Setelah kamar yang akan aku tempati telah selesai
disiapkan, aku dibawa kesana menggunakan kursi roda, dan lagi-lagi inilah
pertama kalinya aku menggunakan kursi roda. Iya aku norak.
Hari-hari aku diopname merupakan
hari-hari sulit bagiku dan juga keluargaku karena mereka harus bergantian untuk
menjagaku serta merawatku di puskesmas. Lalu pada Senin pagi, 10 Juni 2019, aku
pulang dari puskesmas. Senin itu juga aku kembali ke Probolinggo.
[12 Juni 2019] pada hari Rabu, kami sekeluarga pergi ke Jember. Ya, bapak dan
ibuk memutuskan untuk mengantarku karena melihat kondisiku yang belum
sepenuhnya pulih. Kami mampir ke rumah saudara terlebih dahulu setelah itu
mengantarku menuju kost ku. Sorenya, bapak dan adik kembali ke Probolinggo tapi
ibuk tidak, beliau memutuskan untuk menemaniku selama aku ujian.
Ibuk yang mengurusku di Jember, masak,
mencuci, semuanya beliau yang menangani. Ibuk hanya menyuruhku untuk fokus pada
ujianku, dan selama di Jember pun demamku masih kadang-kadang kambuh, terbangun
tengah malam dan ke toilet karena sakit perut. Senin, 24 Juni 2019, seusai
ujian terakhir, aku langsung berberes kamar untuk kembali ke Probolinggo. Aku
tidak pulang bersama ibuk karena beliau pulang pada hari Jumat sebelumnya,
kenapa begitu? Ceritanya panjang.
Aku pulang naik bus bersama teman
sekelasku yang sama-sama akan ke Probolinggo. Aku tidak memilih bus patas untuk
menghindari AC (jujur aku jadi sedikit trauma), tapi sesampainya di rumah aku
tetap masuk angin. Setelah itu demamku kambuh lagi.
Selama aku di rumah, demamku terbit
tenggelam bagai pelangi (maaf auto nyayi). Satu hari aku sehat wal afiat, hari
berikutnya aku kembali lemah, tidak bisa ditebak. Salah makan, demam. Minum es
kebablasan, demam (padahal segelas doang). Kena angin dikit aja nanti bisa
greges terus demam lagi. oh ya selama aku sakit, dari awal sampai detik ini
masih enak makan, tapi itu gak bertahan lama.
[Probolinggo, 6 Juli 2019] hari itu aku terbangun dengan tidak demam, maka aku mencoba untuk
membantu untuk mencuci baju, menyiapkan makanan lalu sarapan. Saat siang hari
tiba, demamku perlahan kambuh hingga malam. Setelah minum obat baru bisa reda.
Namun esoknya aku kembali demam. Orangtua ku kembali cemas. Malamnya apapun
yang masuk ke perutku akan aku muntahkan kembali. Akhirnya malam itu juga
orangtuaku mengantarku ke salah satu rumah sakit di kota. Sesampainya disana,
setelah diperiksa ternyata demamku mencapai 380C. tanganku kembali
diberi selang infus. Aku kembali di opname.
Baru pada kamis malam, 11 Juli 2019 aku
dapat kembali ke rumah. Aku opname lebih dari 3 hari, jadilah aku memikili
bekas infus pada tangan kanan dan juga kiri. Aku pulang dengan membawa beberapa
obat yang harus aku habiskan sampai hari kontrolku tiba.
Gara-gara kelelahan, penyakit batuk ibuku
kambuh. Aku tidak dapat membantu apa-apa hanya doa, aku harap ibuk lekas sembuh
dan sehat lagi (minta doanya juga ya teman-teman). Bapak juga, adik juga semoga
sehat selalu, aaminn.
Aku gak bisa mendeskripsikan seberapa
besar perjuangan orangtuaku, aku gak tau bagaimana cara berterimakasih atas
segala yang telah mereka berikan. Sangat amat banyak. Yang mereka inginkan
hanyalah agar anak gadisnya lekas kembali menjadi sehat seperti sedia kala.
Sampai detik ini pun, aku masih berjuang.
Terakhir, aku minta doa untuk
kesembuhanku dan tolong jaga kesehatan kalian :)
0 comments:
Post a Comment