Monday, December 22, 2014

[Cerpen] CLARITY Oleh: @noeranggadila


CLARITY
Oleh: @noeranggadila

   “Selamat ya!” ujarku menyelamatinya, dia tersenyum padaku. Ah, senyum yang selalu menenangkan. Entah sebesar apa kebahagiaannya sekarang, yang jelas lebar sekali senyumnya kali ini.
        “Hebat kali kau, tak rugi aku mengenalmu,” celetuk Eja.
        “Ah, kau bisa saja.” Dan seperti biasa, dia menanggapinya dengan penuh kerendahan diri.
       Suasana kegembiraan di dalam ruangan ini sangat kentara, semua tertawa, semua ikut merasakan kebahagiaan atas kemenangan yang telah ia peroleh sebagai juara pertama dalam perlombaan robot internasional yang diadakan setiap tahun, dialah masternya, Zidan Al-Kahfi.
       Para dosen dan mahasiswa bercampur-baur memberikan selamat padanya. Aku turut bahagia, namun ada suatu perasaan janggal yang tiba-tiba menyergapku. Aku memilih menyingkir dari kerumunan dan mengambil air minum.
       Seperti biasa, untuk mengusir rasa sepi, aku mengutak-atik iPhone-ku. Rintik hujan rupanya telah berani menempel pada kaca jendela, hujan di luar. Jam berapa ini? Kulihat jam dari iPhone-ku yang otomatis menunjukkan hari, tanggal, dan tahun sekaligus.
Seketika aku teringat sesuatu. Dan Zidan menghampiriku, rupanya para tamu undangan telah selesai dengan acara salam-menyalami, ada yang sedang asyik mengobrol, dan juga menikmati hidangan yang telah dipersiapkan.
   “Ada apa?” tanyanya ketika mengerti pada perubahan mimikku.
   “Maaf, aku gak bisa lama-lama disini, aku—”
   “Ya, aku paham kok, tapi di luar hujan, perlu aku antar?”
  “Apakah kau bercanda? Mereka menyempatkan datang untukmu dan tiba-tiba kau meninggalkan mereka begitu saja demi mengantarkan gadis ingusan sepertiku?”
   “Membiarkan gadisnya kehujanan, lelaki macam apa aku ini?”
    Argh, lagi-lagi ia berhasil membuat pipiku merah.
   “Aku bukan anak kecil lagi, Zidan.” Aku mencoba menyembunyikan rona di wajahku.
   “Tapi—”
   “Di luar banyak taxi kok, tenang aja,” aku menampik tawarannya.
   “Tapi jangan hentikan aku untuk mengantar gadisku sampai menemukan taxi yang dia inginkan.”
   Aku hanya tersenyum mendengarnya.
   Sebelum aku menemukan taxi yang kucari, Zidan diam sejenak sambil memandangku.
   “Apa?” tanyaku tak mengeri.
   “Aku akan menyusulmu nanti.” Dan dia memelukku.
  Hujan masih belum memunculkan tanda-tanda untuk berhenti, aku kembali mengotak-atik iPhone-ku, lalu mengetik sesuatu. Namun kembali kuhapus, kumasukkan kembali iPhone-ku ke dalam tas.
   “Pak, berhenti dulu di Toko Bunga Sundays, daerah Tamrin ya,” pintaku pada sang supir taxi.
   “Baik, Neng,” jawabnya.
   Sesampainya di depan toko bunga, hujan mulai rintik-rintik, jadi aku nekat keluar taxi tanpa payung karena lupa gak bawa.
   Setelah masuk ke dalam, aroma berbagai macam bunga bertebaran. Namun dari sekian banyak jenis bunga, ada satu jenis yang aku cari. Pandanganku berhenti pada sebuah bunga yang diletakkan di dalam pot yang tidak terlalu kecil, namun bisa dibawa dengan satu tangan.
***
   “Bunda, Shifa pulang nih..” seruku sambil meletakkan sepatu sekenanya.
  “Aduh, Shifa, udah berapa kali Bunda bilang, jangan naruh sepatu sembarangan, kan udah ada tempatnya, kaya anak kecil aja,” sahut Bunda sambil merapikan sepatuku, ada nada kesal dalam kalimatnya, namun aku tak menghiraukannya.
   “Iya, maaf deh, lupa.”
  “Tiap hari lupa, kapan ingetnya? Terus itu apa? Beli bunga lagi?” sambil mengelap keringat di pelipisnya dengan lengan baju, ia memerhatikan bungkusan yang aku bawa.
   “Habisnya lucu sih, hihi,” tuturku sambil nyengir.
  “Buat apa beli bunga terus, kalau akhirnya mati kekeringan?” sindir Bunda. Mungkin dia sudah hafal betul kebiasaanku yang satu ini.
   Memang awalnya niat buat ngerawat, tapi dua atau tiga hari pasti bakal lupa dan gak ngurusin lagi, dan kalau bukan Bunda yang peduli, nasib bunga itu akan sama dengan apa yang barusan Bunda katakan, mati kekeringan.
   “Kamu yang beli, Bunda juga yang ngurusi. Udah tau sibuk, tapi tetep aja gak mau nyadar. Kamu kan tau, Bunda juga harus ngurusi rumah, bersih-bersih, masak, segala macem. Masih mending kalau Bunda inget sama koleksi bunga kamu, kalau nggak udah jadi bangkai semua tuh.” Seperti biasa, mungkin bisa dibilang sangat biasa Bunda akan mengomeliku habis-habisan.
   Meskipun begitu, sampai sekarang aku tak jera untuk melakukan suatu hal yang beliau anggap menjengkelkan.
   “Bunda tiap hari ngurusin koleksi bungamu, tapi kamunya kapan bisa bantuin Bunda ngurusin rumah. Kamu sibuk melulu sama urusan kuliah, gak hari Minggu gak Senin, sama aja.”
   “Yah, habisnya gimana lagi,” rengekku.
   “Kamunya aja yang malas, gak pernah mau nyempetin bantuin Bunda."
   “Iya-iya, aku bantuin.” Aku beranjak menuju kamarku.
   “Loh, mau kemana?”
   “Shifa capek, Bund. Shifa tidur dulu ya,” rayuku.
   “Baru aja dibilangin, haduh capek Bunda bilangin kamu, gak pernah mau ngerti.”
   Beliau lantas melanjutkan memasak untuk makan malam keluarga, sedangkan aku? Aku malah tertidur pulas di kasur empuk. Apa sih yang aku pikirkan saat itu? Argh?!
***
   “Maaf, Mba’, ada yang bisa saya bantu?” ujar pramuniaga yang menyadarkanku dari lamunan.
   “Ah, iya, aku ingin membeli bunga ini,” jawabku sedikit gugup.
   “Anggrek Bulan? Yang warna apa, Mba’? warna ungu, putih, atau yang kuning?”
   “Yang ungu satu ya,” jawabku.
   Anggrek Bulan warna ungu adalah favoritnya.
  Setelah mendapatkan bunga yang aku cari, aku langsung kembali ke taxi yang sudah menunggu.         Wah parah! Hujan tak mau berdamai rupanya, utung saja jaket yang aku pakai lumayan tebal.
 Ada satu barang lagi yang harus aku beli, maka kusuruh supir taxi berhenti disuatu toko roti langgananku.
  Setelah mendapatkan sekotak penuh dengan roti kesukaan beliau, barulah aku langsung meminta supir taxi untuk langsung menuju destinasi terakhir.
  Aku mohon, bersabarlah sedikit.
  Sial, kenapa juga aku bisa lupa untuk membawa payung, padahal sudah tau sekarang musim hujan. Rintik rupanya hanya pemanis belaka, saat dalam perjalanan, hujan lumayan deras kembali mengguyur kota.
***
  “Sudah berapa kali Bunda bilang, kamu harus pinter-pinter jaga kesehatan, udah tau kegiatanmu padat banget, tapi masih aja sembrono.” Dan untuk kesekian kali, Bunda kembali mengomeliku. Entah mengapa, meskipun sudah menjadi mahasiswi semester tiga, tetap saja kelakuan kaya anak SD kelas tiga, ampun.
  Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. Apa daya, sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah berbaring menyedihkan di kasur kesayangan. Awalnya Bunda dan Ayah menyarankan aku untuk dirawat di rumah sakit, tapi aku menolak, cukup rawat jalan saja.
   Penyakit maag yang kukira sudah tidak akan kambuh, ternyata kembali menyergapku disaat-saat tugas kuliahan makin membabi buta. Aku akui, aku memang suka sembrono, sampai-sampai kebobolan telat makan, dan selamat datang, maag.
   Lagi, lagi, dan lagi, aku menambah beban Bunda. Meskipun Ayah turut ikut merawatku, tapi Bundalah yang paling berkontribusi paling besar.
   “Kalau sudah begini, Bunda juga kan yang repot.”
   Seminggu drop, seminggu pula aku tak luput dari omelan Bunda, but that’s my life!
  Pernah kepikiran, kalau aku yang sudah sebesar ini sakit, Bunda paniknya gak ketulungan, apalagi dulu waktu aku masih kecil. Enak-enakan tidur lelap di malam yang tenang, eh tiba-tiba suara tangisan cemprengku membangunkannya, dia bela-belain menghentikan kenyamanannya hanya untuk menenangkanku, agar kembali tidur, kembali tenang.
   Drt, drt, drt. iPhone-ku bergetar, tanda ada pesan masuk.
  “Kau lupa bawa payung ya...”
  Itulah, Zidan. Kadang-kadang dia keras kepala, tapi keras kepalanya itulah yang membuatku nyaman bersamanya.
   “Berhenti disini aja, Pak,” kataku saat melihat Zidan dengan payungnya.
   Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia meninggalkan acaranya sendiri, aneh.
  Setidaknya aku tidak basah kuyup dengan adanya Zidan disini. Ketika hendak menuju ruangan yang dituju, tiba-tiba mimik Zidan berubah menjadi aneh.
   “Kamu kenapa?”
   “Sepertinya aku butuh toilet deh, aduh,” ujarnya sambil meringis.
   Ada-ada saja makhluk yang satu ini.
   “Kamu tau letak toiletnya kan?” 
   “Tau kok, kamu duluan aja, entar aku nyusul.”
    Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
   Saat tiba di depan pintu, ada sedikit keragu-raguan, ada sedikit rasa malu yang tiba-tiba menghantui.
   Argh, persetan dengan keragu-raguan.
   Kuketuk pintunya dan masuk. Seperti biasa, aroma obat dimana-mana.
   “Shifa, kenapa gak beri tau Ayah dulu,” kata Ayah menyambutku.
   “Biar surprise, Yah. Bunda belum bangun juga?” kuletakkan bunga anggrek dan kue kukus yang telah aku beli tadi di meja dekat Bunda berbaring.
  “Belum, baru aja selesai pemeriksaan dan dikasih obat tidur sama dokter, biar istirahat dulu katanya.”
    Aku memandangnya, berbaring lemas dengan infus yang menggantung.
  “Mumpung Shifa udah disini, tolong temanin Bunda dulu ya, Ayah mau ambil resep dokter, sekaligus membeli obatnya.”
   “Siap, Ayah.”
   Tangan halus dan suci
   Aku memegang tangannya, lemah, tak bergerak. Tangan lembut yang selama ini setia memegangiku dalam situasi apapun, tangan yang selalu ada ketika aku membutuhkan. Tangan yang dulu setia membelai rambutku saat mau tidur.
   Jiwa raga dan seluruh hidup
   Rela dia berikan
  Air mukannya yang teduh dan damai, wajah yang selama kurang lebih sembilan belas tahun tak bosan-bosan melihatku, memberikan senyum tulusnya meskipun aku sering kali mengecewakannya, bahkan mungkin membuatnya menangis, namun sialnya aku tak dapat menyadarinya.
   Pikirku pun melayang
   Dahulu penuh kasih
  Sering kali ia membuatku senang, merasa bahagia, tapi kapan aku bisa membuatnya bahagia, membalas semua jasanya? Aku selalu sibuk dan terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, sampai terkadang lupa ada Bunda yang cemas dirumah kalau aku tak segera pulang. Dia yang setia memasakkan makanan, tapi aku malah makan di luar. Meskipun dia selalu mengomel akan aku yang malas membantunya mengurusi rumah, tapi tetap saja dia ikhlas membersihkan kamarku, mencuci bajuku. Anak macam apa aku?
  Sadar, menyesal selalu datang terlambat. Setelah Bunda lemah tak berdaya begini baru aku mau menyesal, sadar kenapa dulu aku selalu menyia-nyiakan waktuku bersama Bunda.
   Bunda, maafin Shifa. Maaf atas segalanya, maaf belum bisa membahagiakan Bunda, maaf belum bisa jadi anak yang Bunda inginkan, maaf.
    Kuciumi tangannya, kucium pipinya.
    Tak terasa pipiku basah.
  “Bunda, Shifa disini buat Bunda. Meskipun Bunda belum sadar, Shifa sayang Bunda. Bundalah alasan mengapa Shifa ada sampai sekarang. Semoga Bunda diberi umur panjang dan kesabaran, agar Shifa bisa bahagiain Bunda, bisa lihat Bunda bahagia.”
   Aku berhenti sejenak, membiarkan pipiku basah.
  “Meskipun, Shifa sendiri gak tau kapan bisa buat Bunda bahagia, tapi Shifa janji Bund, secepatnya. Maka dari itu, Bunda cepet bangun, cepet sembuh, biar bisa liat Shifa lulus nanti.”
   Aku membenarkan selimutnya yang agak melorot.
  “Terimakasih sudah mau menjadi Bunda Shifa, Bunda paling baik sedunia, paling sabar, yang paling bisa mengerti Shifa selama ini. Terimakasih atas segalanya, Aku sayang Bunda, ‘cause you are my everything, mom. Selamat hari ibu, 22 Desember.” [ ]
*HAPPY MOTHER’S DAY*
Terimakasih telah menjadi yang terbaik, tersabar, dan terkuat. Tanpamu, Ibu aku bukanlah apa-apa. –Ela’ dan Anggi :)











Saturday, September 27, 2014

A Taste Of Commitment by @noeranggadila


A Taste Of Commitment

        “Manusia adalah makhluk sosial” Semua orang pasti tahu itu, makhluk sosial yang artinya tidak bisa hidup tanpa orang lain pastinya. Tapi bukan berarti hidup itu selalu bergantung!

     Ada saat dimana kita membutuhkan bantuan orang lain, tetapi jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Ada waktu diamana kita menyerah, jika kita benar-benar sudah berusaha sekuat tenaga.

     Kita dikumpulkan untuk menjadi satu! Semua punya hak dan kewajiban masing-masing. Janganlah suka memanjakan hakmu, ingat bahwa masih ada hak-hak orang lain yang juga tumbuh bersama hak-hakmu itu!

          Habis hak terbitlah kewajiban. Jangan hak mulu yang dituntut! Kewajiban juga harus dipenuhi. Kalau mau hasil yang lebih, usaha! Jangan sok jadi atasan yang suka nyuruh-nyuruh seenak jidatnya, tanpa ada sepercik usaha pun yang dilakukan. Terus kalau hasilnya jauh di luar dugaan atau gak seperti yang diinginkan mau apa? Marah? Nyalahin semua awak, bilang gak becus! Enak banget.

        Jangan pernah meremehkan apapun! Jangan pernah menyepelekan apapun selagi kau hanya berstatus manusia. Ingat bahwa sebenarnya kau tak memiliki apa-apa dan tak dimiliki siapa-siapa. Kau hanyalah sejentik dari segalanya. Kau bukanlah siapa-siapa disini. Hanya sebatas manusia hina yang mencari kebenaran. Mencari kedamaian yang hakiki.

       Untuk menjadi satu tak segampang lidah mengecap, semua butuh proses. Untuk mencapai kekompakan, kita harus melalui kerja sama. Kerja sama artinya bekerja bersama-sama, jangan jadi parasit yang kerjanya hanya merugikan orang lain! Pahit getir di rasakan bareng-bareng, susah bareng, seneng juga bareng.
Hidup tolong-menolong, sandar-menyandar.

          Jangan jadi egois! Cuma mentingin diri sendiri. Katanya makhluk sosial? Dimana sosialnya? Don’t give me your bullshit, please.

                                                                                                       Probolinggo, 27 September 2014.


Monday, September 15, 2014

[Book Review] Melbourne: Rewind oleh Winna Efendi



Judul Buku : Melbourne [Rewind] 
Penulis : Winna Efendi
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : Juni 2013

Cetakan ke : pertama, 2013

Jumlah Halaman : xii + 328 hlm
Ukuran Buku : 13 x 19 cm

Book Blurb
Pembaca tersayang,

Kehangatan Melbourne membawa siapa pun untuk bahagia. Winna Efendi menceritakan potongan cerita cinta dari Benua Australia, semanis karya-karya sebelumnya: Ai, Refrain, Unforgettable, Remember When, dan Truth or Dare.

Seperti kali ini, Winna menulis tentang masa lalu, jatuh cinta, dan kehilangan.

Max dan Laura dulu pernah saling jatuh cinta, bertemu lagi dalam satu celah waktu. Cerita Max dan Laura pun bergulir di sebuah bar terpencil di daerah West Melbourne. Keduanya bertanya-tanya tentang perasaan satu sama lain. Bermain-main dengan keputusan, kenangan, dan kesempatan. Mempertaruhkan hati di atas harapan yang sebenarnya kurang pasti.

Setiap tempat punya cerita.

Dan bersama surat ini, kami kirimkan cerita dari Melbourne bersama pilihan lagu-lagu kenangan Max dan Laura.

Enjoy the journey,

EDITOR

From Me

Finally, I am done! Honestly, ini pertama kalinya baca novel dari GagasMedia, sumpah! [hehehe :D] *lambaikan bendera putih. D-A-N pertama kalinya baca novel karya Mba’ Winna Efendi! *[lagi] lambaikan bendera putih. Because, I don’t have a lot of money [lagi krismon, eh] Maklum lah, bukan orang tajir, juga bukan koruptor yang seenak jidatnya makan uang rakyat dimana-mana [lagi ngomongin apa sih?] Juga pertama kalinya aku buat resensi novel! *[lagi dan lagi] lambaikan bendera putih. Ngomong-ngomong tentang resensi, jadi keinget masa-masa kelas IX [eaaa.. :D] dan kalau inget kelas IX, jadi inget sama UN - __- Ok, back to the topic! Memang agak telat sih aku tau tentang project novel dari GagasMedia dan Bukune tentang STPC [Setiap Tempat Punya Cerita] ini [hadeh - __-] Awalnya aku tau dari Twitter, banyak yang nge-tweet kalau mereka udah punya LENGKAP seri STPC sekaligus gambar-gambarnya, lah dari situ aku jadi penasaran dan tadaaa!!! akhirnya aku putuskan untuk ikut-ikut ngoleksi novel seri STPC :D [no plagiarism] Dan seri STPC yang pertama kali aku beli adalah… *drum roll, Melbourne!!!! Karya mba’ Winna Efendi tentunya :) Beberapa hal yang bikin aku pingin [pake banget] ngoleksi novel seri STPC adalah pertama, menurut aku judulnya menarik karena entah, mungkin karena pakai nama-nama kota yang ada didunia [alasan absurd] Yang kedua, masih menurut aku tentunya, setiap cover novel seri STPC itu easy catching gimana gitu, apalagi yang dari GagasMedia, simple but gorgeous!

#Penampakan beberapa novel seri STPC
          Sesuai dengan judul novelnya yaitu Melbourne, so pasti settingnya di Melbourne. Melbourne adalah ibu kota negara bagian Victoria di Australia. Melbourne merupakan kota terpenting kedua dari segi bisnis dan kedua terbesar di Australia serta kota terbesar di Victoria. Pada bulan Juni, 2011, Melbourne memiliki populasi 4.1 juta jiwa. Penduduk Melbourne biasanya disebut sebagai 'Melburnian'. Pengucapan Melbourne adalah /ˈmÉ›lbÉ™rn/. Motto Melbourne adalah "Vires acquirit eundo" yang berarti "Kita bertambah kuat sejalan dengan kemajuan kita. Melbourne terletak di dekat teluk besar alam, yaitu 'Port Philip Bay'. Pusatnya berada di muara sungai Yarra, dengan kawasan pinggiran di sekitar teluk ke arah timur dan barat. Ada 30 kotamadya di Melbourne, termasuk Melbourne City Council yang mengucap daerah kecil terdiri dari kota dalam dan distrik bisnis terpenting. How do I knew? Wikipedia always be there for me ;D [hehehe]
#Melbourne

          Seperti biasa, novel Mba’ Winna Efendi yang satu ini ber-genre romance, dengan main characternya Max dan Laura. Di novel Melbourne ini, Mba’ Winna membantu para readers buat lebih gampang, lebih cepat dapat feel-nya dengan cara menggunakan sudut pandang akuan [Pov yang pertama] dari Max maupun Laura. So, para good readers diajak untuk ngerasain gimana jadi Max dan jadi Laura juga gimana. And for you all who like listening music, I recommend you to read this novel! Why? Kalian akan tau kalau udah baca, hahaha :D [evil’s laugh] music + novel = perfect couple!

          “What about some coffe?” –hal. 26

Sedikit bocoran, Melbourne menceritakan tentang Max dan Laura yang dulunya pernah menjalin hubungan, tapi karena sebuah masalah sepele, mereka akhirnya putus! Dan beberapa tahun setelah itu, takdir mempertemukan mereka kembali. Bagi aku, bahasa yang digunakan Mba’ Winna Efendi sedikit agak susah dimengerti pada beberapa halaman [Cuma beberapa doang kok :D] tapi mungkin buat writers atau good readers yang sudah bergulat dengan KBBI itu tentunya tidak menjadi masalah [ketahuan deh kalau jarang buka KBBI :D] terus, juga banyak nyempil kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris yang dapat menambah rasa luar negerinya :D, buat aku itu sangat membantu banget, jadi bisa nambah kosakata dengan catatan gak malas buka kamus :)

          Passion dari Max dan Laura berperan banget dalam jalannya cerita. Max yang suka banget dengan pencahayaan dan Laura dengan musik-musik bergenre yang menurut orang lain aneh, tapi nggak bagi dia.

“Sejak kecil, gue selalu terpesona pada cahaya” -hal. 4
“Sementara aku, aku percaya ada lagu yang tepat untuk setiap peristiwa maupun kenangan” -hal. 18-19

          Quotes yang tercantum dalam novel ini lumayan banyak, dan ada beberapa yang aku suka, diantaranya:

          “A light is never just a light.” –hal. 8
 “—setiap orang memiliki soundtrack kehidupannya sendiri.“ –hal. 19
“Bagiku cinta adalah sesuatu yang berjalan apa adanya, seiring waktu.” –hal. 51
“Cinta itu rumit, tetapi setiap orang tidak sabar untuk jatuh cinta ke dalam kerumitan itu, dan ikut tersangkut dalam jaringnya.” –hal. 52
“Sometimes the truth is harder to take than lies.” -hal. 53
“…orang-orang yang salah mungkin bisa buat lo senang, tapi orang-orang yang tepat akan membuat lo merasakan lebih dari itu semua.” –hal. 81
“Things always happen for a reason, that’s what everybody says.” –hal. 123
“Dengan menerima kenyataan, kita akan lebih mudah bergerak maju, mengecilkan ruang untuk rasa sesal.” –hal. 123
“Tangisan tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang lemah. Tangisan diciptakan untuk orang-orang kuat, untuk mengingatkan mereka bahwa kesalahan adalah sesuatu yang wajar dan tidak apa-apa jika sesekali kita merasakan takut, sesal, atau pun sedih.” –hal. 176
“Terkadang, emosi yang tak berlandas logika mampu mengacaukan segalanya.” –hal. 303

          Setelah aku baca ulang [yang ke dua kalinya], I found some awkward!

·         Di halaman depan Max mengatakan, “Detik ini, gue berdiri di tempat yang sama seperti seperti lima tahun lalu, mendengarkan lagu yang sama, dan menyesap kopi yang sama.” –hal. 14 Sedangkan dihalaman lainnya Max mengatakan, “… seperti malam-malam kami di Prudence, enam tahun yang lalu.” –hal. 40 Ini yang betul kapan sih? Lima tahun atau enam tahun yang lalu? Terus di halaman selanjutnya masih kata Max, “Gue ingin mengisi tanda tanya besar yang ada dalam rentang lima tahun kami nggak menjadi bagian dari hidup masing-masing.” –hal. 68 It makes me little confused.

·         “Namun,gue serius.Gue ingin memeluknya,melingkarkan…” –hal.212 ini bener-bener gak ada spasinya.

·         Human is human, nobody is perfect. Kebetulan, novel Melbourne yang aku beli halaman 49 tidak tertera nomor halamannya :D
          Seperti yang aku katakana tadi, I love the cover at the first sight! Visualisasi dari novel ini keren, gak hanya covernya tapi isinya juga menggoda :D
#Pembatas kece novel Melbourne

#Beberapa ilustrasi yang dibubuhkan
          Mungkin aku bukan pengamat yang handal, mungkin karena banyak kelebihan jadi kekurangan-kekurangan yang ada bisa tertutupi sampai akhirnya aku bingung mau kasih kritik tentang apa lagi [haha, payah!]

          Jadi, buat kalian para good readers yang penasaran, buruan baca novelnya ya! :D

Monday, August 4, 2014

[Cerpen] Down To Earth by @noeranggadila

Down To Earth
By: @noeranggadila




I never thought that it'd be easy
Cause we're both so distant now
And the walls are closing in on us and we're wondering how


Bau air hujan masih terasa. Namun nyatanya, hujan telah berhenti menetes, menyisakan bekasnya dimana-mana. Untuk beberapa saat, aku hanya berdiri terdiam dengan menatap ke arah pintu bercat putih yang tertutup, ya aku sedang berdiri di depan pintu rumah tentunya. Bimbang.
Namun akhirnya, aku memencet bel beberapa kali dan menunggu. Kembali, kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku hoodie abu-abu yang kukenakan. Sang pemilik rumah membukakan pintu dan mempersilahkanku masuk. Seketika terjadi keheningan di antara kami, tak ada yang berniat untuk membuka pembicaraan.

“Maaf telah membuatmu menunggu tadi. Oh ya, kau mau minum apa?” kata sang tuan rumah menawarkan.
Suara yang telah lama aku rindukan, suara yang sama seperti lima tahun lalu.“Tidak usah repot-repot, aku hanya sebentar saja,” jawabku dengan seulas senyum yang seakan dipaksakan, mungkin dia melihatku begitu.
“Kenapa harus buru-buru? Apakah kau tak merindukan Ayah?”
Rindu. Apakah ayah berpura-pura tidak tau? Aku, ibu, kami semua sangat merindukan Ayah, apakah Ayah tak menyadarinya?! “Kenapa Ayah jarang ke rumah?” kataku akhirnya mengabaikan pertanyaan dari Ayah.
“Akhir-akhir ini Ayah sibuk, banyak pekerjaan yang harus Ayah kerjakan, kau tau kan?”
Sibuk. Ya aku hafal sekali gelagatnya yang satu itu. Sejujurnya, tanpa Ayah beritahu pun, aku sudah tahu. Dan mungkin usahaku hari ini akan berujung sia-sia, aku yakin itu.

No one has a solid answer
But just walking in the dark
And you can see the look on my face, it just tears me apart


“Oh ya, bagaimana kabar ibumu?” katanya, mencoba menbuka topik pembicaraan baru.
“Ibu baik-baik saja. Sebenarnya aku ke sini ingin memberimu ini.” Aku menyerahkan sebuah undangan kepadanya.
“Meskipun aku tau Ayah tak bisa hadir karena terlalu sibuk, setidaknya Ayah tau sekolahku akan mengadakan pertunjukan musik, dan semua orang tua murid diundang.”

Dia terdiam sambil memandangi undangan itu. Mungkin dia diam menunggu beberapa saat untuk mengatakan ketidak sanggupannya menghadiri acara sekolahku atau mungkin, diamnya itu sudah berarti dia tidak akan bisa hadir. Dan kalau begitu, firasatku benar bahwa dia tak akan sempat untuk menghadirinya. Sebenarnya aku tahu ia tak akan pernah sempat menghadiri undangan yang aku berikan, sebanyak apapun itu. Tapi anehnya, aku terus saja memberinya undangan yang aku dapatkan dari sekolah.

“Sebenarnya…”
“Ayah tak usah repot-repot menjelaskan, aku tahu ayah tak bisa hadir. Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu.” Aku pun beranjak dari sofa untuk pulang.
“Jason, tunggu!”

Aku berhenti melangkah. Apakah akhirnya dia ingin mengatakan bahwa dia akan hadir? Apakah dia akhirnya sadar aku sangat mengharapkannya hadir dalam acara itu? Apakah Ayah tahu isi hatiku?

“Biar Ayah antar kau pulang,” ujarnya sambil mencoba menyentuh pundakku, tapi aku menepisnya.
Aku pun tersenyum pahit. “Tidak usah, aku bukan anak kecil lagi.” Setelah itu aku langsung pergi tanpa menoleh ke arahnya.
***
Mommy, you were always somewhere
And Daddy, I live out of town
So tell me how could I ever be, normal somehow?


Seperti biasa, makan malam hari ini hanya ada aku dan ibu, karena hanya ada kami berdua dirumah ini, pembantu dan tukang kebun rumah ini sedang ijin. Dan setiap kali aku mengingatnya, mengingat kesepian ini, nafsu makanku jadi hilang. Ibu menyadari perubahan itu saat aku mulai memainkan garpu dan sendok di atas piring.

“Jason, apa yang sedang kau pikirkan, nak?” Itulah suara yang selama 17 tahun setia menemaniku. Dia yang paling mengerti aku, kapan aku bahagia atau sedang terpuruk, kapan aku jujur atau pun bohong. Jadi percuma saja aku  mengelak.
“Ayahmu mungkin sedang benar-benar sibuk, kau kan tau itu.” Ada nada kerinduan di kalimatnya. Aku tahu, ibu juga menginginkan hal yang sama sepertiku, ingin ayah kembali, meskipun ia berusaha menyembunyikan hal itu.
“Apakah Ibu akan melakukan hal yang sama?” Sejak lima tahun lalu, tepatnya setelah ayah meninggalkan rumah ini, ibuku mulai menyibukkan dirinya dengan usaha toko bunga yang sekarang bukan lagi toko kecil tua yang catnya telah terkelupas disana-sini. Melainkan toko bunga yang buka sejak pukul tujuh pagi hingga tujuh malam dengan lima pramuniaganya. Itulah alasan terkadang ia telat pulang.
“Aku takkan membiarkan anak kesayanganku menyanyi sendiri tanpa dilihat ibunya.” Sebuah jawaban sederhana yang dapat merekahkan senyumku selebar-lebarnya. ‘Cause, she is my hero!
“Sepertinya aku ingin makan lagi,” candaku.

You tell me this is for the best
So tell me why am I in tears?
So far away and now I just need you here


Setelah makan malam selesai, aku langsung masuk ke dalam kamar dan meraih gitar yang selalu setia menemaniku bernyanyi,  itulah benda kesayanganku. Ayahkulah yang pertama kali mengajarkan bermain gitar saat usiaku baru 10 tahun, aku sering berlatih dan akhirnya aku bisa. Gitar ini pula yang mengingatkanku pada hari itu, ketika aku baru pulang dari membeli gitar ini karena gitar ayah hilang setelah dipinjam temannya. Aku pulang dengan bangga karena telah berhasil membawa pulang gitar dengan uang hasil jerih payahku sendiri.

Rencananya aku ingin cepat-cepat menunjukkan gitar baruku pada ayah, namun setelah aku membuka gerbang, tiba-tiba aku mendengar kegaduhan dari dalam rumah dan kulihat ayah keluar dari rumah dengan membawa kunci mobil disusul ibu mengekor di belakangnya. Mereka sama-sama mencoba mempertahankan opini masing-masing, ibu dengan tuduhan pada ayah yang kurang menyediakan waktu untuk keluarga, sedangkan ayah tak mau kalah dengan alasan sibuk dengan pekerjaan dan bla bla bla.

Lalu mereka berdua menyadari kehadiranku disana. “Apa yang sedang terjadi?” mereka berdua sama-sama diam dengan pertanyaanku. Lalu ayah segera menghampiriku.
“Ini yang terbaik, Ayah harus pergi. Jaga ibumu baik-baik.”

Seperti petir di siang bolong, ia membungkam mulutku dengan pernyataannya. Seketika senyum yang kubawa pulang lenyap seketika, hilang ditelan bumi. Ingin aku menghentikan langkahnya, namun ia telah menghidupkan mesin mobil dan keluar dari garasi. Aku tak peduli lagi dengan gitar baruku yang begitu saja aku jatuhkan, aku hanya berlari untuk menghentikan laju mobil Pajero Sport hitam itu.

Aku tak lagi memedulikan ibuku yang berteriak agar aku tak mengejar mobil ayah, pikiranku sedang kacau hingga aku berhenti mengejar karena mobil itu telah melaju jauh di depan. Aku terdiam cukup lama di tempat itu, sampai akhirnya aku berjalan kembali kerumah.

So we fight,
Through the hurt,
And we cry and cry and cry and cry,
And we live,
And we learn,
And we try


Awalnya aku percaya penjelasan ibu bahwa ayah hanya pergi untuk beberapa hari saja, tapi akhirnya aku sadar, aku tau alasan dia pergi dan tak lagi pulang kerumah. Hari demi hari aku mencoba untuk tegar, mungkin aku berhasil menenangkan diriku, tapi tidak dengan jiwaku yang mungkin tak akan merasa tenang sebelum beliau kembali berkumpul bersama kami. Mungkin ibu juga sama? Dia tampak ceria setiap hari, mungkin itu usahanya untuk tidak membuat sedih. Tapi aku tau, Bu. Aku tau kau pun tak mengharapkan keadaan ini, aku tau kau sebenarnya terluka, mungkin lebih terluka dari diriku. Intinya, kita sama-sama memerangi perasaan masing-masing. But, show must go on! Kita sama-sama mencoba melukis gambar baru dengan kemampuan untuk belajar dari masa lalu.

***

Apa ini permintaan yang terlalu berlebihan? Apa aku terlalu berharap? Menunggu dan menunggu. Acaranya memang telah mulai sejak 15 menit lalu, dan sebentar lagi adalah giliranku tampil, tapi dia belum juga menampakkan gelagatnya. Harusnya aku tidak melakukan ini, harusnya aku tak usah memedulikannya datang atau tidak, karena pasti akan seperti acara-acaranya sebelumnya, dia tak akan datang.

“Jason,” kata seorang gadis bergaun hijau lumut menghampiriku.
“Ada apa?” aku membenahkan kerah kemejaku yang sebetulnya sudah rapi.
“Sebentar lagi kau tampil, mengapa kau masih disini?”
“Oh ya, aku hanya sedikit grogi,” kataku sekenanya. Ah! Sebenarnya setiap kali aku berbicara dengannya itu yang membuatku grogi. Lexi, gadis yang diam-diam aku sukai, mungkin dia yang selalu dapat melupakan sejenak masalah hatiku ini. Saat dia tersenyum, untuk beberapa saat masalah yang aku alami hilang seketika.
“Ngomong-ngomong, kau terlihat tampan malam ini. But, I gotta go, good luck!”
“Thanks.” Apa aku tak salah dengar? Apakah masalahku terlalu menggangguku hingga berdampak pada pendengaranku? Tidak, aku yakin aku baik-baik saja. Apakah kalimat itu hanya sekedar kalimat tanpa makna apapun? Apa dia juga sebenarnya… Entahlah.

Aku segera fokus kembali, melupakan masalah, melupakan sejenak kejadian tadi. Aku siap untuk menunjukkan apa yang aku punya.

“Ladies and gentlemen, please welcome, Jason McCan,” panggil sang pembawa acara tanda waktuku untuk tampil telah tiba.

   Segera aku memasuki panggung, kursi penonton telah penuh dengan penghuninya, dan aku melihat ibu disana, tersenyum kearahku. Akupun balas tersenyum padanya. Lalu segera ku ambil gitar kesayanganku yang telah disiapkan dan duduk di kursi yang berada ditengah-tengah panggung.

“Thank you so much to every single one of you for coming to this show, we hope you all enjoy this. This song dedicate to someone out there, I hope he would see me,” kataku sebelum memulai bernyanyi. Entah kenapa, kata-kata itu meluncur begitu saja.

I felt so far away,
From where we used to be,
And now we're standing,
And where do we go,
when there's is no road
to get to your heart?
Lets start over again!

So it's up to you,
And it's up to me,
And we meet in the middle, on our way back down to earth,
Down to earth, (down to earth)
Down to earth,
On our way back down to earth,


            Tak terasa ada bulir-bulir hangat yang mendesak keluar dari pelupuk mataku seiring dengan berakhirnya petikan gitarku, tapi aku segera menghapusnya. Kuharap mereka tak menyadarinya. Para penonton bertepuk riuh. Aku membungkukkan badan tanda penampilanku telah usai. Aku tak berniat untuk menonton penampilan-penampilan teman-temanku yang lain, aku ingin sendiri dulu.

            Tak peduli sedingin apa malam ini, aku masih betah berdiam diri ditemani gitar kesayanganku. Jari-jemariku mulai memetik senar dengan nada-nada rancu. Mungkin mulut bisa berbohong, tapi hatiku tak bisa.

            Tiba-tiba seseorang mengagetkanku.

“Ternyata kau disini,” ujar Lexi berdiri sejajar disampingku.
Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu, tapi nyatanya aku hanya menjawabnya dengan seulas senyum, aku harap dia tak tau yang sebenarnya. Kulirik jam tanganku, tapi acaranya belum berakhir.
“Penampilanmu tadi keren, seperti biasa.”
Thanks!” Setiap kali dia memujiku serasa aku tak pernah kenal rasa sedih. Aku ingin membalas memuji balik, tapi aku bukan seorang pujangga, aku bukan seorang pemuda dengan seribu kata-kata manis yang dapat membuat setiap gadis yang mendengarnya klepek-klepek. Tidak, aku tak seperti itu, aku hanya mencoba menjadi apa adanya.

Suasana menjadi hening seketika, masing-masing sibuk dengan pikiran masing-masing. Seharusnya aku yang harus memulai pembicaraan basa-basi untuk cepat-cepat mengusir hening, tapi seperti yang kubilang tadi. Dia pun tak protes karena aku tak menanyakan sesuatu padanya, satu hal yang aku suka darinya.

“Boleh aku bertanya sesuatu.” Akhirnya dia bertanya lagi.
“Apa?” aku menoleh ke arahnya yang ternyata dia juga menatapku.
“Akhir-akhir ini kau sering menyendiri, ada apa?”

Aku mengalihkan pandanganku menerawang ke depan. Andai angin bisa bicara.

Lalu, cepat-cepat dia berkata, “Kalau kau keberatan aku mengetahuinya, tak masalah kok.”
“Ini tentang Ayahku.” Aku menoleh padanya lagi, lalu tersenyum.

Hening kembali. Sepertinya dia mengerti makna tersirat dalam jawabanku tadi, aku sedang tak ingin, benar-benar tak ingin bercerita sekarang sekalipun pada orang yang aku, aku suka. Sebenarnya aku tak pernah bercerita tentang masalahku ini pada siapa pun selain Ibu tentunya.

“Aku lihat mereka di dalam tadi.”
“Mereka?”
“Ibumu dan Ayahmu tentunya.”

Apa pikiranku mengganggu pendengaranku? Apa aku bermimpi? Apa dia benar-benar mengatakannya tadi? Tapi sungguh, selama aku tampil, aku hanya melihat Ibu, tidak dengan Ayah.

“Dia tak bisa datang, seperti biasa.” Sungguh, aku masih tak percaya yang satu ini, meski Lexi yang mengatakannya.
“Aku malah sempat berbincang dengannya tadi, Jason McCan.” Dia menekankan kata-katanya saat menyebutkan namaku. Aku memalingkan tubuhnya menghadapku, sejujurnya aku tak sadar telah melakukannya.
“Kau masih tak percaya, jam berapa sekarang? Dan jangan tanya kenapa,” suruhnya.
“Pukul sembilan,” sahutku tak mengerti maksudnya.
“Lihat mereka disana.” Aku menoleh ke arah yang ia maksud, diantara para tamu yang keluar karena acara telah usai. Dan tiba-tiba Lexi mencubit lenganku. Aku mengerang kesakitan.
“Berarti kau sudah bangun.”

Mereka yang Lexi maksud menghampiriku.

“Ayah…” Hanya kata itu yang berhasil keluar dari mulutku.
“Tante, Om, Lexi permisi dulu ya, udah ditunggu soalnya.”
“Kenapa buru-buru,” sahut Ibuku.
“Saya pamit dulu.” Dia meninggalkan kita bertiga.
“Kukira…” Lagi-lagi aku tak dapat menyelesaikan kalimatku.
“Ayahmu datang demi melihat penampilanmu, Jason,” jelas Ibuku. Aku menoleh ke arah Ayah. Dia mengangguk. Sejujurnya aku ingin berteriak, tapi disini masih ramai, jadi kuurungkan niatku itu. Mungkin aku egois, tapi apakah waktu bisa berhenti sekarang juga?

Tiba-tiba hujan turun.

“Sebelum hujan lebat, ayo kita pulang, pulang ke rumah tercinta,” ujar Ayah kemudian. 

I never thought that it'd be easy,
Cause we're both so distant now,
And the walls are closing in on us and we're wondering how?



Tamat.
Keterangan:
Lagu Inspirasi : Down to Earth.
Durasi              : 4:05 menit.
Album             : My World.
Pencipta          : Justin Bieber, Midi Mafia, Mason Levy, Carlos Battey, Steven Battey.
Penyanyi         : Justin Bieber.
Tanggal rilis     : 17 November 2009 oleh Island Record.
Video Inspirasi: Justin Bieber - Down To Earth (Music Video) By Jardc87



 

Keep Moving! Template by Ipietoon Cute Blog Design