Saturday, July 11, 2015

[Cerbung] The Condition EP. 2 By @noeranggadila

weheartit.com

Sesuai hasil rapat kemarin, setelah jam kerjanya usai, Eun Ji tidak bisa langsung pulang ke rumah karena mendapat tugas tambahan yaitu menjadi seorang ‘dokter pribadi’ Kim Seung Jae, pasien penderita Leukimia dan kebutaan sekaligus.

Awalnya dia sedikit mengeluh, kenapa harus dia yang melakukan tugas seberat ini, padahal diakan hanya dokter baru di rumah sakit itu? Masih ada dokter spesialis kanker darah lainnya yang lebih berpengalaman tentunya. Tetapi demi pekerjaannya, ia akhirnya melakukan tugas yang telah di utus pada dirinya itu.

“Annyeong Hasimnikka[1].” Eun Ji memasuki kamar pasien Kim Sung Jae dengan seorang perawat yang membawa nampan berisi obat dan segelas air putih.

Setelah Seung Jae meminum obatnya sambil duduk di atas ranjang, lantas Eun Ji mempersilahkan perawat itu meninggalkan mereka berdua. Awalnya Eun Ji merasa gugup karena baru pertama kali menjadi ‘dokter pribadi’ dalam sejarah pekerjaannya, namun akhirnya ia memberanikan diri untuk berucap.


Ini hanya masalah menghadapi pasien baru, tak perlu gugup, Eun Ji.

“Kim Seung Jae, mulai sekarang aku adalah dokter pribadimu, Jung Eun Ji.”

Ah! Perkenalan macam apa ini, kaku sekali?

Suasana menjadi hening seketika, Seung Jae diam tanpa kata dengan tatapan kosong lurus ke depan, seolah ia sedang berusaha keras mengingat sesuatu dalam diam.

“Jadi mulai sekarang kau akan diawasi lebih dekat olehku, maksudku kita akan bertemu lebih sering. In.. intinya seperti itu, jadi mohon bantuannya,” ujar Eun Ji dengan senyum canggung.

Seung Jae masih tetap membungkam mulut rapat-rapat.

Mengapa dia mendadak membisu begini, apakah dia tidak mengerti apa yang aku katakan?

“Apakah kau mendengarku? Kau tidak sedang tertidurkan?” Eun Ji melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajah Seung Jae karena respon Seung Jae yang hanya diam saja, hanya sepasang matanya saja yang bergerak untuk berkedip.

“Aku tidak butuh dokter pribadi.”

Suasa kembali hening seketika.

Siapa juga yang ingin jadi dokter pribadimu? Tapi Eun Ji hanya menghembuskan nafas panjang dan mencoba bersabar, toh ini demi pekerjaannya, cita-citanya untuk menjadi seorang dokter profesional.

Eun Ji memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dokter yang ia kenakan. “Lain kali, jangan melakukan hal-hal aneh seperti kemarin, semua dokter jadi panik karenamu. Lagi pula, mengapa kau melakukan hal konyol seperti itu? Mau mencoba bunuh diri?” Eun Ji mengoceh sambil memerhatikan jendela yang ada di ruangan itu.

Hanya terdapat sebuah jendela di ruangan tersebut, ukurannya sepertiga dari ukuran  pintu kamar itu. Karena kamar pasien ini berada pada lantai tiga dan jendela itu menghadap langsung ke taman belakang rumah sakit yang kini sepi, hanya diterangi oleh nyala lampu-lampu taman karena hari sudah gelap.

“Aku hanya… hanya ingin menghirup udara dari luar saja.”

Eun Ji kembali memerhatikan Seung Jae yang duduk diam di atas ranjangnya. Tatanan rambut hitam yang terlihat kuyu terkesan seperti orang sakit demam ditambah lagi bibirnya yang kering, seperti tak pernah minum air.

“Kau terlihat kusut sekali, apakah kau demam?” Eun Ji mendekat ke ranjang dan meletakkan tangannya di dahi Seung Jae, memastikan apakah pasiennya benar-benar demam atau tidak. Tapi ternyata lelaki itu baik-baik saja, meskipun sebenarnya dia tidak sedang baik-baik saja.

Untuk kesekian kalinya Eun Ji bertanya, “Apa kau ada masalah? Ceritakanlah saja, jangan dipendam sendiri.”

Dan sekali lagi Seung Jae tetap bergeming.

Eun Ji menyerah untuk membuat pasiennya itu bicara banyak. “Baiklah kalau kau tetap diam seperti itu, aku anggap tidak ada masalah.” Eun Ji melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu ia membantu Seung Jae untuk berbaring dan menyelimutinya, serta menyuruhnya untuk beristirahat. Dan tugasnya hari ini telah usai, waktunya dia pulang ke rumah dan istirahat.

Sesampainya di losmen berukuran 5 x 8 meter tanpa tembok penyekat, Eun Ji langsung meletakkan tas selempangannya di atas meja dan pergi mandi. Dengan mencoba mengeringkan rambutnya menggunakan selembar handuk putih, Eun Ji menyiapkan makan malam. Gadis itu memeriksa isi kulkas, mungkin saja ada yang dapat ia masak. Ternyata hanya ada beberapa botol air, minuman kaleng, sepotong daging, serta beberapa buah daun bawang, selebihnya kulkas itu hanya sebuah benda pendingin yang kosong.

Beginilah hidup diperantauan, kapan aku bisa makan enak?

Akhirnya Eun Ji memutuskan untuk memasak ramyun[2] dicampur dengan daun bawang dan beberapa potong daging, serta memasak nasi. Untung saja ia masih memiliki beberapa bungkus ramyun dan simpanan beras.

Karena di losmennya itu tidak ada sekat pembatas, jadilah ia menggunakan sekat dari anyaman bambu yang ia bawa dari rumahnya di Yeosu untuk membatasi antara ruang makan dan kamar.

Saat Eun Ji mulai menghidupkan TV, terlintas banyangan tentang Seung Jae yang sedang duduk diam di atas ranjang, ia kembali mengingat kejadian tadi di rumah sakit. Entah mengapa ia merasa pernah mendengar suara seseorang yang mirip dengan Seung Jae sebelumnya. Tiba-tiba ia merasa kasihan dengan keadaan pasiennya itu, penyakit yang ia derita bukan hanya serius, tetapi juga memprihatinkan. Seung Jae harus menjalani sisa hidupnya dalam kebutaan. Eun Ji pun teringat akan dirinya di masa lalu, saat ia juga hidup dalam kegelapan, hanya bisa mengandalkan indera pendengaran dan perabaan, sisanya ia harus menghafal agar tidak menyusahkan orang lain, terutama kedua orang tuanya.

Mengingat Seung Jae menjadikan ia kembali bersedih karena masa lalunya, hampir saja ia menitikkan air mata. Karena merasa sudah cukup lelah, ia mematikan TV dan segera pergi tidur agar esok tidak bangun kesiangan. [ ]




[1] Halo (ungkapan formal yang dapat berarti ‘Selamat pagi’, ‘Selamat Siang’, ‘Selamat Sore’, dan ‘Selamat Malam’, bersifat kondisional. )
[2] Mie instan

0 comments:

Post a Comment

 

Keep Moving! Template by Ipietoon Cute Blog Design