Showing posts with label Family. Show all posts
Showing posts with label Family. Show all posts
Saturday, December 8, 2018
Thursday, March 29, 2018
[Review + Giveaway] A List of Cages oleh Robin Roe
Judul : A List Of Cages
Penerbit : Penerbit Spring
Penulis : Robin Roe
Ukuran : 14 x 20 cm
Halaman : 372 halaman
Bahasa : Bahasa Indonesia
ISBN : 978-602- 6682-12- 3
Blurb
Adam begitu gembira bisa bertemu lagi
dengan Julian saat bekerja sebagai pendamping psikolog sekolah. Meskipun duduk
diam bukanlah hal yang mudah bagi ADHD-nya, tapi Adam tidak bisa mengeluh.
Awalnya, Julian adalah anak yang
seperti yang Adam kenal lima tahun yang lalu. Julian masih anak yang ramah,
masih suka menulis cerita, dan menyukai buku cerita bergambar untuk anak-anak.
Namun kemudian, Adam menyadari Julian menyembunyikan sesuatu.
Hanya saja, meskipun Adam berniat
untuk membantu, rahasia itu bisa saja membuat mereka kehilangan nyawa…
Labels:
ADHD,
Blogtour,
Book,
Cild Abuse,
Disleksia,
Family,
Fiksi,
Friendship,
Giveaway,
illness,
Novel,
Penerbit Spring,
Resensi,
Young-adult
Saturday, February 4, 2017
[Book Review] Simon vs The Homosapiens Agenda oleh Becky Albertalli
Judul:
Simon vs. The Homosapiens Agenda
Penulis:
Becky Albertalli
Penerbit:
Spring
Ukuran :
13x19 cm
Tebal: 324
halaman
Terbit:
Januari 2017
ISBN: 9786026044303
Blurb:
Gara-gara lupa logout dari akun
E-mailnya, Simon tiba-tiba mendapatkan sebuah ancaman. Dia harus menjadi
makcomblang bagi badut kelas Martin. Jika tidak, fakta bahwa dia gay akan
menjadi urusan seluruh sekolah. Parahnya lagi, identitas Blue, teman yang dia
kenal via E-mail akan menjadi taruhannya.
Tiba-tiba saja, kehidupannya SMA
Simon yang berpusat pada sahabat-sahabat dan keluarganya menjadi kacau balau.
Labels:
Amerika,
Family,
Fiksi,
Friendship,
LGBT,
Penerbit Spring,
Resensi,
Romance,
School,
Young-adult
Monday, December 12, 2016
[Book Review] Ailurofil oleh Triani Retno A.
Judul buku: Ailurofil
Penulis: Triani Retno
A.
Editor: Irna
Permanasari
Desain sampul: Marcel
A.W
Penerbit: PT Gramedia
Pustaka Utama
ISBN:
978-602-03-2547-7
Cetakan pertama, 14
Maret 2016
184 halaman
BLURB:
Ai.lu.ro.fi.li: orang yang sangat
tertarik pada kucing
Nasya Aurelia sangat suka kucing.
Ia bercita-cita ingin memiliki cat shop, lengkap dengan salon kucing, hotel
kucing, klinik kucing, hingga panti asuhan dan kursus kucing. Tapi Nasya
bingung, di kampus mana ia harus kuliah agar cita-cita itu terwujud. Tidak ada
satu pun kampus yang menyediakan Fakultas Ilmu Kucing. Gimana dong?
Namun, masalah rencana kuliah itu
belum seberapa dibanding kegalauannya. Setelah sekian lama naksir diam-diam dan
akhirnya jadian, Nasya baru menyadari bahwa Rio—cowok paling keren di
sekolah—ternyata benci banget sama kucing. Masa ia harus mutusin cowok demi
kucing?
Hingga suatu saat sahabatnya,
Alvin, menyodorkan ide brilian yang bikin mata dan pikiran Nasya terbuka….
Sunday, July 31, 2016
[Book Review] Coloured Lights (Lampu Warna-Warni) oleh Leila Aboulela
Penulis : Leila Aboulela
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penyunting : Widi Lugina
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Maret 2012
Blurb:
Satu kisah dari kumpulan cerita pendek ini, Museum (The Museum) memenangkan penghargaan African Booker yang pertama, Caine Prize untuk African Writing. Menurut Ben Okri, kisahnya “menyentuh, lembut, ironis, memendam kemarahan, dan ditulis dengan indah”.
Lampu Warna-warni (Coloured Lights) mengisahkan kecelakaan tragis pada sebuah pernikahan di Khartoum; cerita lainnya tentang kisah romantis yang berkembang di sebuah kedai kebab di Skotlandia. Kisah-kisah dalam buku ini mencerminkan pengalaman para imigran Muslim di Inggris; pertentangan budaya dan perjuangan spiritual.
Aku menulis tentang sesuatu yang mengusik dan menggugahku, tanpa mengalami perasaan-perasaan itu, aku tidak bisa menulis. Aku terinspirasi oleh bagaimana orang-orang dari budaya dan keyakinan yang berbeda saling tertarik namun pada waktu yang bersamaan juga saling mencurigai. Tokoh-tokoh dalam buku ini kadang diceritakan penuh kedukaan, kadang lucu saat mereka menemukan hal-hal baru dalam hidup mereka. Aku berusaha menggambarkan dan menuliskan perasaan-perasaan tak terduga yang muncul dalam suatu keadaan. –– Leila Aboulela
Satu kisah dari kumpulan cerita pendek ini, Museum (The Museum) memenangkan penghargaan African Booker yang pertama, Caine Prize untuk African Writing. Menurut Ben Okri, kisahnya “menyentuh, lembut, ironis, memendam kemarahan, dan ditulis dengan indah”.
Lampu Warna-warni (Coloured Lights) mengisahkan kecelakaan tragis pada sebuah pernikahan di Khartoum; cerita lainnya tentang kisah romantis yang berkembang di sebuah kedai kebab di Skotlandia. Kisah-kisah dalam buku ini mencerminkan pengalaman para imigran Muslim di Inggris; pertentangan budaya dan perjuangan spiritual.
Aku menulis tentang sesuatu yang mengusik dan menggugahku, tanpa mengalami perasaan-perasaan itu, aku tidak bisa menulis. Aku terinspirasi oleh bagaimana orang-orang dari budaya dan keyakinan yang berbeda saling tertarik namun pada waktu yang bersamaan juga saling mencurigai. Tokoh-tokoh dalam buku ini kadang diceritakan penuh kedukaan, kadang lucu saat mereka menemukan hal-hal baru dalam hidup mereka. Aku berusaha menggambarkan dan menuliskan perasaan-perasaan tak terduga yang muncul dalam suatu keadaan. –– Leila Aboulela
Labels:
Afrika,
Cerpen,
Family,
Fiksi,
Imigran,
Inggris,
Penerbit Gramedia Pustaka Utama,
Reading Challenge
Saturday, April 2, 2016
[Book Review] Seishun No Tabi oleh Tangguh Alamsyah
“karena
setiap orang perlu mengalaminya satu kali dalam hidup”
Judul:
Seishun No Tabi
Penulis:
Tangguh Alamsyah
Penerbit:
Diva Press
Cetakan:
I, Juni 2013
Jumlah
Halaman: 228
ISBN:
9786022790051
Blurb:
Harayuki
Ashiya bersama beberapa cucu almarhum sang kakek yang kaya raya ditantang untuk
menemukan kunci menuju warisan senilai 800 miliar yen. Mereka diberi petunjuk
yang tersebar di sejumlah titik penting di negara Jepang. Bersama Akira, sang
partner yang genius tapi bersikap dingin, ia pun bersaing dengan kelompok
lainnya memecahkan segala misteri dengan terus dibayang-bayangi sosok pembunuh
misterius. Banyak momen menegangkan bercampur romantisme yang tersirat begitu
manis. Semuanya disajikan secara kompleks oleh Tangguh Alamsyah, salah satu
pemenang #lombanoveljepang.
Labels:
Family,
Fiksi,
Jepang,
Novel,
Penerbit deTeens,
Petualangan,
Resensi,
Romance
Wednesday, March 9, 2016
[Book Review] Romantic Cooking oleh Dyah Ayu
Judul: Romantic Cooking
No. ISBN: 9786027975637
Penulis: Dyah Ayu
Penerbit: Bentang Belia
Tanggal terbit: November - 2013
Jumlah Halaman: 130
Jenis Cover: Soft Cover
Blurb:
Jeonbokjuk, nakji
bokkeum, kimchi, dan masakan penggugah selera lainnya sudah siap dihidangkan.
Tuan
Muda Ok Taecyeon sangat terpesona oleh masakan eommaku, juru masak keluarga Ok.
Lalu, kata-kata itu terngiang lagi di kepalaku. “Kamu nggak berbakat jadi juru
masak, bisanya hanya ngerecokin dapur saja!” Eommaaa jahaaat! Bagaimana bisa,
ibu kandung sendiri nggak mendukung impian anaknya?
Niat
bulatku untuk masuk jurusan kuliner ditentang Eomma habis-habisan. Tapi,
keinginan ini sudah nggak bisa dibendung. Belum lagi kalau teringat senyum
ganteng Tuan Muda Ok Taecyeon saat mencicipi menu kesukaannya. Rintangan
seberat apa pun, rasanya bisa kulibas. Meski itu akan berat bangeeet.
Labels:
Cooking,
Family,
Friendship,
Korea,
Novel,
Penerbit Bentang Belia,
Resensi,
Romance,
School
Saturday, March 5, 2016
[Book Review] Perfectly Imperfect oleh Alifiana Nufi

Judul : Perfectly Imperfect
Penulis : Alifiana Nufi
Penyunting : Cicilia Prima
Illustrasi isi : Sara Debora & Helfi Tristeawan
Penata isi : Yusuf Pramono
Penerbit : PT Grasindo
Terbitan : November 2015
Jumlah halaman : 154 halaman
ISBN : 978-602-375-267-6
Blurb:
Ahn
Ji-Hyun
Bukan
keinginanku menjadi berbeda dari kebanyakan orang. Mata inilah yang membuatku
berbeda dan sumber dari segala kesengsaraan yang aku alami. Sepasang mata
dengan iris berlainan yang entah dari siapa aku mendapatkannya. Tapi, pemuda
itu berbeda dari kebanyakan orang. Bukannya menganggapku aneh, dia malah
menganggapku istimewa. Bolehkah aku berharap lebih padanya?
Park
Jang-Woo
Bukan
keinginanku berada di kota ini. Semua ini kulakukan demi mendapatkan
kepercayaan ayahku kembali. Aku hanya perlu bersikap baik selama tiga bulan dan
segera kembali ke Seoul. Tapi semua berubah saat aku menyelamatkan seorang
gadis dengan mata langka itu. Aku menjadi korban bullying berikutnya. Mengapa
banyak yang membencinya? Padahal dia memiliki sesuatu yang langka.
Bukankah
sesuatu yang langka itu istimewa?
Labels:
Bullying,
Family,
Fiksi,
Friendship,
illness,
Korea,
Novel,
Penerbit Grasindo,
Resensi,
Romance
Saturday, February 27, 2016
[Book Review] The Wind Leading to Love oleh Ibuki Yuki
Judul Buku : The Wind Leading to Love
Penulis : Ibuki Yuki
Penerbit : Haru
Tebal : 342 Halaman
Terbit : Maret 2015
Cover : Soft
Cover
ISBN : 9786027742475
Blurb:
Rasa
sakit itu merupakan bukti kalau kita masih hidup.
Suga
Tetsuji depresi. Menuruti saran dokter, dia mengasingkan diri di sebuah kota
pesisir, di sebuah rumah peninggalan ibunya. Namun, yang menantinya bukanlah
ketenangan, tapi seorang wanita yang banyak omong dan suka ikut campur bernama
Fukui Kimiko.
Fukui
Kimiko kehilangan anak dan suaminya, dan menyalahkan dirinya sendiri sebagai
penyebab kematian mereka berdua. Dia menganggap dirinya tidak pantas untuk
berbahagia.
Setelah
menyelamatkan Tetsuji yang nyaris tenggelam, Kimiko menawarkan bantuan pada
pria itu untuk membereskan rumah peninggalan ibunya agar layak jual. Sebagai
gantinya, wanita itu meminta Tetsuji mengajarinya musik klasik, dunia yang
disukai anaknya.
Mereka
berdua semakin dekat, tapi….
------------------------------
Labels:
Family,
Fiksi,
Jepang,
Novel,
Penerbit Haru,
Resensi,
Romance,
Song,
Young-adult
Monday, January 25, 2016
[Book Review] My Daddy ODHA oleh Dy Lunaly
![]() |
“What doesn’t kill you make you stonger” |
Judul: My Daddy ODHA
No. ISBN: 9786029397321
Penulis: Dy Lunaly
Penerbit: Bentang Belia
Tanggal terbit: Juli – 2012
Cetakan ke: Pertama, 2012
Jumlah Halaman: vi + 138 hlm
Jenis Kover: Soft Cover
Blurb
Aku heran deh sama tingkat kecerdasan
teman-teman—kalau bisa dibilang teman sih— sekolahku. Mereka hobi banget
membullyku. Ya, ayahku seorang ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Itulah alasan
kenapa aku selalu diperlakukan berbeda. Sejak SMP, aku mengalaminya. Dan,
rupanya ini terus berlanjut hingga aku SMA. Semua orang mengasingkanku, kecuali
Rani, sahabatku.
Di tengah perjuanganku menghadapi mereka yang
menyebalkan, aku harus rela menerima kenyataan baru. Kak Andre minta putus lalu
memacari Rani!
“Tasia itu kuat, sendirian pun pasti akan
baik-baik aja.”
Cih! Cowok macam apa yang tega bilang begitu?
Sahabatku sendiri juga sangat bodoh. Bisa-bisanya dia tanya padaku, “Kamu nggak
apa-apa kalau aku jadian dengan Kak Andre?” Mereka berdua memang sudah sinting!
Mana mungkin aku nggak apa-apa?!
Lalu, aku menyadari bahwa situasi ini makin
parah. Bahkan, makin lama Rani ikut menjauhiku. Aku benar-benar sendiri
sekarang. Rani, Kak Andre, semuanya. Gimana aku bisa melewati semua ini?
Aaarrrgh!
------------------------------
Wednesday, October 28, 2015
Surat Ini Diikutkan di Giveaway Dae-Ho's Delivery Service PSA3
Teruntuk engkau, jiwa-jiwa yang selalu aku rindukan
hidupku dan matiku
17 tahun bersama dan inshaallah akan selalu bersama, aamiin.
hidupku dan matiku
17 tahun bersama dan inshaallah akan selalu bersama, aamiin.
Sudah sejak lama
engkau merangkulku, memberikan kehangatan, dan mengusahakan segala hal demi
untuk kebahagianku, memenuhi permintaanku, 17 tahun lamanya. Dan kini, anakmu
telah tumbuh menjadi seorang remaja yang sedang menjalani masa pencarian jati
diri, mulai mengenal banyak hal, bermacam-macam bentuk dan rupa. Banyak cerita
yang sebenarnya aku ingin bagi, tapi sayang kesempatan selalu kalah dengan
keegoisan anakmu yang mulai sibuk dengan dunianya sendiri, hingga akhirnya ia
menjadi seorang introvert, orang asing di dalam rumah beserta keluarga yang
telah setia bersama selama 17 tahun.
Labels:
Family,
Giveaways,
Penerbit Grasindo,
Reality
Monday, December 22, 2014
[Cerpen] CLARITY Oleh: @noeranggadila
CLARITY
Oleh: @noeranggadila
“Selamat ya!” ujarku menyelamatinya, dia tersenyum padaku. Ah, senyum yang selalu menenangkan. Entah sebesar apa kebahagiaannya sekarang, yang jelas lebar sekali senyumnya kali ini.
“Hebat kali kau, tak rugi aku mengenalmu,” celetuk Eja.
“Ah, kau bisa saja.” Dan seperti biasa, dia menanggapinya dengan penuh kerendahan diri.
Suasana kegembiraan di dalam ruangan ini sangat kentara, semua tertawa, semua ikut merasakan kebahagiaan atas kemenangan yang telah ia peroleh sebagai juara pertama dalam perlombaan robot internasional yang diadakan setiap tahun, dialah masternya, Zidan Al-Kahfi.
Para dosen dan mahasiswa bercampur-baur memberikan selamat padanya. Aku turut bahagia, namun ada suatu perasaan janggal yang tiba-tiba menyergapku. Aku memilih menyingkir dari kerumunan dan mengambil air minum.
Seperti biasa, untuk mengusir rasa sepi, aku mengutak-atik iPhone-ku. Rintik hujan rupanya telah berani menempel pada kaca jendela, hujan di luar. Jam berapa ini? Kulihat jam dari iPhone-ku yang otomatis menunjukkan hari, tanggal, dan tahun sekaligus.
Seketika aku teringat sesuatu. Dan Zidan menghampiriku, rupanya para tamu undangan telah selesai dengan acara salam-menyalami, ada yang sedang asyik mengobrol, dan juga menikmati hidangan yang telah dipersiapkan.
“Ada apa?” tanyanya ketika mengerti pada perubahan mimikku.
“Maaf, aku gak bisa lama-lama disini, aku—”
“Ya, aku paham kok, tapi di luar hujan, perlu aku antar?”
“Apakah kau bercanda? Mereka menyempatkan datang untukmu dan tiba-tiba kau meninggalkan mereka begitu saja demi mengantarkan gadis ingusan sepertiku?”
“Membiarkan gadisnya kehujanan, lelaki macam apa aku ini?”
Argh, lagi-lagi ia berhasil membuat pipiku merah.
“Aku bukan anak kecil lagi, Zidan.” Aku mencoba menyembunyikan rona di wajahku.
“Tapi—”
“Di luar banyak taxi kok, tenang aja,” aku menampik tawarannya.
“Tapi jangan hentikan aku untuk mengantar gadisku sampai menemukan taxi yang dia inginkan.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Sebelum aku menemukan taxi yang kucari, Zidan diam sejenak sambil memandangku.
“Apa?” tanyaku tak mengeri.
“Aku akan menyusulmu nanti.” Dan dia memelukku.
Hujan masih belum memunculkan tanda-tanda untuk berhenti, aku kembali mengotak-atik iPhone-ku, lalu mengetik sesuatu. Namun kembali kuhapus, kumasukkan kembali iPhone-ku ke dalam tas.
“Pak, berhenti dulu di Toko Bunga Sundays, daerah Tamrin ya,” pintaku pada sang supir taxi.
“Baik, Neng,” jawabnya.
Sesampainya di depan toko bunga, hujan mulai rintik-rintik, jadi aku nekat keluar taxi tanpa payung karena lupa gak bawa.
Setelah masuk ke dalam, aroma berbagai macam bunga bertebaran. Namun dari sekian banyak jenis bunga, ada satu jenis yang aku cari. Pandanganku berhenti pada sebuah bunga yang diletakkan di dalam pot yang tidak terlalu kecil, namun bisa dibawa dengan satu tangan.
***
“Bunda, Shifa pulang nih..” seruku sambil meletakkan sepatu sekenanya.
“Aduh, Shifa, udah berapa kali Bunda bilang, jangan naruh sepatu sembarangan, kan udah ada tempatnya, kaya anak kecil aja,” sahut Bunda sambil merapikan sepatuku, ada nada kesal dalam kalimatnya, namun aku tak menghiraukannya.
“Iya, maaf deh, lupa.”
“Tiap hari lupa, kapan ingetnya? Terus itu apa? Beli bunga lagi?” sambil mengelap keringat di pelipisnya dengan lengan baju, ia memerhatikan bungkusan yang aku bawa.
“Habisnya lucu sih, hihi,” tuturku sambil nyengir.
“Buat apa beli bunga terus, kalau akhirnya mati kekeringan?” sindir Bunda. Mungkin dia sudah hafal betul kebiasaanku yang satu ini.
Memang awalnya niat buat ngerawat, tapi dua atau tiga hari pasti bakal lupa dan gak ngurusin lagi, dan kalau bukan Bunda yang peduli, nasib bunga itu akan sama dengan apa yang barusan Bunda katakan, mati kekeringan.
“Kamu yang beli, Bunda juga yang ngurusi. Udah tau sibuk, tapi tetep aja gak mau nyadar. Kamu kan tau, Bunda juga harus ngurusi rumah, bersih-bersih, masak, segala macem. Masih mending kalau Bunda inget sama koleksi bunga kamu, kalau nggak udah jadi bangkai semua tuh.” Seperti biasa, mungkin bisa dibilang sangat biasa Bunda akan mengomeliku habis-habisan.
Meskipun begitu, sampai sekarang aku tak jera untuk melakukan suatu hal yang beliau anggap menjengkelkan.
“Bunda tiap hari ngurusin koleksi bungamu, tapi kamunya kapan bisa bantuin Bunda ngurusin rumah. Kamu sibuk melulu sama urusan kuliah, gak hari Minggu gak Senin, sama aja.”
“Yah, habisnya gimana lagi,” rengekku.
“Kamunya aja yang malas, gak pernah mau nyempetin bantuin Bunda."
“Iya-iya, aku bantuin.” Aku beranjak menuju kamarku.
“Loh, mau kemana?”
“Shifa capek, Bund. Shifa tidur dulu ya,” rayuku.
“Baru aja dibilangin, haduh capek Bunda bilangin kamu, gak pernah mau ngerti.”
Beliau lantas melanjutkan memasak untuk makan malam keluarga, sedangkan aku? Aku malah tertidur pulas di kasur empuk. Apa sih yang aku pikirkan saat itu? Argh?!
***
“Maaf, Mba’, ada yang bisa saya bantu?” ujar pramuniaga yang menyadarkanku dari lamunan.
“Ah, iya, aku ingin membeli bunga ini,” jawabku sedikit gugup.
“Anggrek Bulan? Yang warna apa, Mba’? warna ungu, putih, atau yang kuning?”
“Yang ungu satu ya,” jawabku.
Anggrek Bulan warna ungu adalah favoritnya.
Setelah mendapatkan bunga yang aku cari, aku langsung kembali ke taxi yang sudah menunggu. Wah parah! Hujan tak mau berdamai rupanya, utung saja jaket yang aku pakai lumayan tebal.
Ada satu barang lagi yang harus aku beli, maka kusuruh supir taxi berhenti disuatu toko roti langgananku.
Setelah mendapatkan sekotak penuh dengan roti kesukaan beliau, barulah aku langsung meminta supir taxi untuk langsung menuju destinasi terakhir.
Aku mohon, bersabarlah sedikit.
Sial, kenapa juga aku bisa lupa untuk membawa payung, padahal sudah tau sekarang musim hujan. Rintik rupanya hanya pemanis belaka, saat dalam perjalanan, hujan lumayan deras kembali mengguyur kota.
***
“Sudah berapa kali Bunda bilang, kamu harus pinter-pinter jaga kesehatan, udah tau kegiatanmu padat banget, tapi masih aja sembrono.” Dan untuk kesekian kali, Bunda kembali mengomeliku. Entah mengapa, meskipun sudah menjadi mahasiswi semester tiga, tetap saja kelakuan kaya anak SD kelas tiga, ampun.
Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. Apa daya, sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah berbaring menyedihkan di kasur kesayangan. Awalnya Bunda dan Ayah menyarankan aku untuk dirawat di rumah sakit, tapi aku menolak, cukup rawat jalan saja.
Penyakit maag yang kukira sudah tidak akan kambuh, ternyata kembali menyergapku disaat-saat tugas kuliahan makin membabi buta. Aku akui, aku memang suka sembrono, sampai-sampai kebobolan telat makan, dan selamat datang, maag.
Lagi, lagi, dan lagi, aku menambah beban Bunda. Meskipun Ayah turut ikut merawatku, tapi Bundalah yang paling berkontribusi paling besar.
“Kalau sudah begini, Bunda juga kan yang repot.”
Seminggu drop, seminggu pula aku tak luput dari omelan Bunda, but that’s my life!
Pernah kepikiran, kalau aku yang sudah sebesar ini sakit, Bunda paniknya gak ketulungan, apalagi dulu waktu aku masih kecil. Enak-enakan tidur lelap di malam yang tenang, eh tiba-tiba suara tangisan cemprengku membangunkannya, dia bela-belain menghentikan kenyamanannya hanya untuk menenangkanku, agar kembali tidur, kembali tenang.
Drt, drt, drt. iPhone-ku bergetar, tanda ada pesan masuk.
“Kau lupa bawa payung ya...”
Itulah, Zidan. Kadang-kadang dia keras kepala, tapi keras kepalanya itulah yang membuatku nyaman bersamanya.
“Berhenti disini aja, Pak,” kataku saat melihat Zidan dengan payungnya.
Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia meninggalkan acaranya sendiri, aneh.
Setidaknya aku tidak basah kuyup dengan adanya Zidan disini. Ketika hendak menuju ruangan yang dituju, tiba-tiba mimik Zidan berubah menjadi aneh.
“Kamu kenapa?”
“Sepertinya aku butuh toilet deh, aduh,” ujarnya sambil meringis.
Ada-ada saja makhluk yang satu ini.
“Kamu tau letak toiletnya kan?”
“Tau kok, kamu duluan aja, entar aku nyusul.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Saat tiba di depan pintu, ada sedikit keragu-raguan, ada sedikit rasa malu yang tiba-tiba menghantui.
Argh, persetan dengan keragu-raguan.
Kuketuk pintunya dan masuk. Seperti biasa, aroma obat dimana-mana.
“Shifa, kenapa gak beri tau Ayah dulu,” kata Ayah menyambutku.
“Biar surprise, Yah. Bunda belum bangun juga?” kuletakkan bunga anggrek dan kue kukus yang telah aku beli tadi di meja dekat Bunda berbaring.
“Belum, baru aja selesai pemeriksaan dan dikasih obat tidur sama dokter, biar istirahat dulu katanya.”
Aku memandangnya, berbaring lemas dengan infus yang menggantung.
“Mumpung Shifa udah disini, tolong temanin Bunda dulu ya, Ayah mau ambil resep dokter, sekaligus membeli obatnya.”
“Siap, Ayah.”
Tangan halus dan suci
Aku memegang tangannya, lemah, tak bergerak. Tangan lembut yang selama ini setia memegangiku dalam situasi apapun, tangan yang selalu ada ketika aku membutuhkan. Tangan yang dulu setia membelai rambutku saat mau tidur.
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Air mukannya yang teduh dan damai, wajah yang selama kurang lebih sembilan belas tahun tak bosan-bosan melihatku, memberikan senyum tulusnya meskipun aku sering kali mengecewakannya, bahkan mungkin membuatnya menangis, namun sialnya aku tak dapat menyadarinya.
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Sering kali ia membuatku senang, merasa bahagia, tapi kapan aku bisa membuatnya bahagia, membalas semua jasanya? Aku selalu sibuk dan terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, sampai terkadang lupa ada Bunda yang cemas dirumah kalau aku tak segera pulang. Dia yang setia memasakkan makanan, tapi aku malah makan di luar. Meskipun dia selalu mengomel akan aku yang malas membantunya mengurusi rumah, tapi tetap saja dia ikhlas membersihkan kamarku, mencuci bajuku. Anak macam apa aku?
Sadar, menyesal selalu datang terlambat. Setelah Bunda lemah tak berdaya begini baru aku mau menyesal, sadar kenapa dulu aku selalu menyia-nyiakan waktuku bersama Bunda.
Bunda, maafin Shifa. Maaf atas segalanya, maaf belum bisa membahagiakan Bunda, maaf belum bisa jadi anak yang Bunda inginkan, maaf.
Kuciumi tangannya, kucium pipinya.
Tak terasa pipiku basah.
“Bunda, Shifa disini buat Bunda. Meskipun Bunda belum sadar, Shifa sayang Bunda. Bundalah alasan mengapa Shifa ada sampai sekarang. Semoga Bunda diberi umur panjang dan kesabaran, agar Shifa bisa bahagiain Bunda, bisa lihat Bunda bahagia.”
Aku berhenti sejenak, membiarkan pipiku basah.
“Meskipun, Shifa sendiri gak tau kapan bisa buat Bunda bahagia, tapi Shifa janji Bund, secepatnya. Maka dari itu, Bunda cepet bangun, cepet sembuh, biar bisa liat Shifa lulus nanti.”
Aku membenarkan selimutnya yang agak melorot.
“Terimakasih sudah mau menjadi Bunda Shifa, Bunda paling baik sedunia, paling sabar, yang paling bisa mengerti Shifa selama ini. Terimakasih atas segalanya, Aku sayang Bunda, ‘cause you are my everything, mom. Selamat hari ibu, 22 Desember.” [ ]
*HAPPY MOTHER’S DAY*
Terimakasih telah menjadi yang terbaik, tersabar, dan terkuat. Tanpamu, Ibu aku bukanlah apa-apa. –Ela’ dan Anggi :)Saturday, May 10, 2014
Mejeng di majalah sekolah, Dian Wara 5 [Jika Aku Mereka]
Jika Aku Mereka
@noerfaradila
Dengan
malas, kupaksa membuka mata, dan beranjak dari mimpi indahku. Kulirik jam
digital yang bertengger di meja belajar, 06.30. Seketika, mataku langsung
membulat sempurna menatap jam digital hitam itu.
“Apa?! Sial, aku telat!”
Dengan langkah seribu, aku langsung mengambil
baju mandi dan langsung masuk kamar mandi tanpa menghiraukan omelan bundaku
karena aku bangun kesiangan lagi. Entah, untuk keberapa kalinya aku kesiangan
hanya gara-gara tidur kemalaman. Padahal aku selalu membuat alarm, tapi tetap
saja aku telat bangun pagi.
aku berjalan menuju meja makan dengan kedua
tangan sibuk memasang dasi, tas ransel yang tersangkut di lengan kananku dengan
relesletingnya yang belum aku tutup sempurna.
“Harus sampai kapan sih bangun telat? Kamu gak
malu sama diri kamu sendiri? Kamu itu sudah besar, masa harus minta
dibangunin?” kata Bunda mengomel padaku seperti biasa.
Dan jawaban yang selalu aku lontarkan setiap pagi pula adalah, “iya, maaf,
besok gak akan telat lagi deh.” Tapi kenyataannya aku selalu telat.
“Selalu bilang janji, mana janjinya? Paling
besok-besok diulangi lagi,” kata bundaku sambil memberikan segelas susu coklat
kesukaanku.
Saat kutatap makanan yang ada di meja makan,
rasa laparku langsung hilang. Sebenarnya bunda sudah menyiapkan banyak menu
makanan untuk sarapan, tapi dari semua masakan yang ia masak pagi ini tak ada
yang aku suka. Akhirnya aku hanya meminum segelas susu coklat yang masih hangat
dan meletakkan gelasnya di meja makan. Aku pun langsung menuju ke garasi untuk
mengambil sepeda.
Ketika menyadari aku tak sarapan, Bunda
menghampiriku dan berkata, “kok, sarapannya gak dimakan?”
“Udah telat,” jawabku bohong. Aku hanya tak
ingin menyakiti perasaan Bunda kalau aku bilang aku gak suka masakannya.
“Ya udah, kamu beli sarapan disekolah saja,”
kata bundaku dengan nada sedikit kecewa, aku tahu itu. Namun ia tak
menunjukkannya secara langsung.
Setelah berpamitan, kukayuh pedal sepeda
dengan kecepatan maksimal. Tak peduli dengan orang-orang di jalan yang melihatku
heran. Seorang gadis remaja, berpakaian seragam sekolah sekaligus wajah siap tempur.
Dengan wajah penuh peluh, akhirnya aku sampai
juga di sekolah. Meskipun perlu perjuangan, menerobos lampu merah, lewat gang
sempit dengan segala unggas yang berkeliaran. Hampir saja aku menabrak seekor
kucing yang sedang tidur di tengah jalan dan terpaksa bangun lalu lari karena
kaget dengan suara bel sepedaku.
“Pak, jangan digembok dulu!!” kataku dengan
sedikit berteriak kepada Pak Ujang, penjaga sekolah yang bertugas menutup
gerbang sekolah.
“Untung saja belum masuk, neng,” ujar Pak Ujang dengan senyuman ikhlas yang menyejukkan hati.
***
Bel tanda pulang sekolah telah berdering
beberapa menit yang lalu dan aku masih terjebak di sekolah karena hujan yang
datang tiba-tiba dan tak mau memberikan kesempatan bagiku untuk pulang dengan
tidak basah kuyup. Sialnya diriku hari ini, gara-gara kesiangan, aku lupa
membawa jas hujan padahal tadi malam sudah aku siapkan di atas meja belajar.
Satu-persatu temanku telah pulang dan alhasil tinggal aku sendiri menyesali
diri dan berharap hujan akan segera reda.
Karena aku tak tahan untuk pulang kerumah,
tetapi hujan juga belum mau reda, akhirnya aku nekat pulang biarpun kehujanan. Lalu,
ketika aku mau melangkahkan kaki beranjak dari gerbang sekolah, ada seseorang
yang memanggilku. Kutengok kearah suara itu, ternyata Pak Ujang yang
berlari-lari kecil sambil membawa payung ke arahku.
“Kok belum pulang, neng?”
“Sebenarnya, saya mau pulang,” ujarku.
“Bagaimana, kalau pulang dengan saya saja,
meskipun saya hanya punya satu payung” ucap Pak Ujang menawarkan bantuan.
Akhirnya aku menerima bantuannya, daripada aku
harus pulang sendirian, dan kehujanan. Rumah Pak Ujang satu arah dengan rumahku,
tapi kalau dari sekolah, lebih dekat rumahnya dari pada rumahku. Karena melihat
aku menggigil kedinginan, jadi kami berhenti sejenak di rumah Pak Ujang. Rumahnya kecil, bukan maksudku menyombongkan diri. Temboknya pun
dari bambu reot, dan diterangi dengan beberapa lampu yang sudah mulai tua
dimakan usia.
Sesampainya kami di rumah Pak Ujang, kami langsung disambut istri Pak Ujang dan kedua anaknya yang masih kecil.
Bu Iem, istri pak ujang langsung memberikan handuk dan teh hangat untuk kami
berdua.
“Berteduh saja sejenak dirumah kami, anggap
saja rumah sendiri,” kata Bu Iem.
Aku jawab dengan senyuman. Kedua anaknya
mendekat padaku.
“Wah, tas kakak bagus,” kata yang berbaju
kuning.
“Iya,” yang berbaju biru menyahuti.
Bagus? Padahal aku sudah menganggap ini sudah
jelek, meskipun baru beli satu bulan yang lalu.
“Ayo, waktunya ngaji anak-anak,” suruh Bu Iem.
Kedua anaknya yang masih kecil, mungkin masih
sekolah TK. Mereka cepat-cepat memakai sarung masing-masing, sarungnya pun
bekas. Terdengar lantunan ayat-ayat suci yang mengalir begitu saja, seperti
layaknya orang dewasa, mereka membaca dengan fasih. Aku jadi malu pada diriku
sendiri, mereka yang masih kecil sudah rajin baca al-Qur’an. Sedangkan aku yang udah SMP masih belum fasih baca al-Qur’an.
Terlalu.
Tiba-tiba, Bu Iem menghampiriku dengan membawa sepiring
ketela goreng hangat yang
asapnya masih mengepul.
“Silahkan dicicipi, maaf adanya hanya itu.”
“Iya bu, terimakasih,” kataku. Tapi aku tak merasa lapar. Kemudian, kedua anak yang tadi mengaji, langsung
menghampiriku,
“Kakak, aku minta ketelanya, boleh?” tanya si baju biru.
“Oh, iya, ambil aja,” jawabku. Aku memberikan
sepiring ketela goreng pada mereka yang langsung diambil dan dilahab.
Kelihatannya mereka lapar. Kenapa mereka tak meminta yang lain seperti, nasi goreng atau apalah yang lebih enak dari
sekedar ketela goreng. Tapi kalau dipikir, jangankan minta nasi goreng, buat
makan sehari-hari aja susah, karena Pak Ujang hanya bekerja sebagai penjaga
sekolah yang penghasilannya tak bisa dijanjikan dan istrinya tak bekerja.
Mereka tak mengeluh dengan segala yang mereka punya, mereka selalu mensyukuri
apa yang ada. Tak seperti aku! Orang tuaku berkecukupan, tapi apakah aku telah
bersyukur? Aku tak mau sarapan hanya karena lauknya tak cocok. Harusnya aku
sadar bahwa masih banyak orang yang berjuang hanya untuk sesuap nasi.
Sepertinya hujan telah reda, dan hari semakin
sore, waktunya aku pulang ke rumah. Akhirnya aku berpamitan pada mereka semua
dan tidak lupa berterimakasih telah menampungku selama hujan.
Sepanjang perjalanan pulang, kukayuh sepeda
sambil berfikir tentang apa yang aku pikirkan di rumah Pak Ujang tadi. Mensyukuri hidup, itu pelajaran berharga yang aku dapat hari
ini. Baiklah, aku bertekad untuk menjadi orang yang mensyukuri apa yang ada. Dan yang pertama-tama, besok aku akan bangun pagi-pagi,
sungguh!
Noer
Anggadila-XIA
[6 Januari 2013, Senin, pertama kali mejeng di majalah Dian Wara 5]
Subscribe to:
Posts (Atom)