Jika Aku Mereka
@noerfaradila
Dengan
malas, kupaksa membuka mata, dan beranjak dari mimpi indahku. Kulirik jam
digital yang bertengger di meja belajar, 06.30. Seketika, mataku langsung
membulat sempurna menatap jam digital hitam itu.
“Apa?! Sial, aku telat!”
Dengan langkah seribu, aku langsung mengambil
baju mandi dan langsung masuk kamar mandi tanpa menghiraukan omelan bundaku
karena aku bangun kesiangan lagi. Entah, untuk keberapa kalinya aku kesiangan
hanya gara-gara tidur kemalaman. Padahal aku selalu membuat alarm, tapi tetap
saja aku telat bangun pagi.
aku berjalan menuju meja makan dengan kedua
tangan sibuk memasang dasi, tas ransel yang tersangkut di lengan kananku dengan
relesletingnya yang belum aku tutup sempurna.
“Harus sampai kapan sih bangun telat? Kamu gak
malu sama diri kamu sendiri? Kamu itu sudah besar, masa harus minta
dibangunin?” kata Bunda mengomel padaku seperti biasa.
Dan jawaban yang selalu aku lontarkan setiap pagi pula adalah, “iya, maaf,
besok gak akan telat lagi deh.” Tapi kenyataannya aku selalu telat.
“Selalu bilang janji, mana janjinya? Paling
besok-besok diulangi lagi,” kata bundaku sambil memberikan segelas susu coklat
kesukaanku.
Saat kutatap makanan yang ada di meja makan,
rasa laparku langsung hilang. Sebenarnya bunda sudah menyiapkan banyak menu
makanan untuk sarapan, tapi dari semua masakan yang ia masak pagi ini tak ada
yang aku suka. Akhirnya aku hanya meminum segelas susu coklat yang masih hangat
dan meletakkan gelasnya di meja makan. Aku pun langsung menuju ke garasi untuk
mengambil sepeda.
Ketika menyadari aku tak sarapan, Bunda
menghampiriku dan berkata, “kok, sarapannya gak dimakan?”
“Udah telat,” jawabku bohong. Aku hanya tak
ingin menyakiti perasaan Bunda kalau aku bilang aku gak suka masakannya.
“Ya udah, kamu beli sarapan disekolah saja,”
kata bundaku dengan nada sedikit kecewa, aku tahu itu. Namun ia tak
menunjukkannya secara langsung.
Setelah berpamitan, kukayuh pedal sepeda
dengan kecepatan maksimal. Tak peduli dengan orang-orang di jalan yang melihatku
heran. Seorang gadis remaja, berpakaian seragam sekolah sekaligus wajah siap tempur.
Dengan wajah penuh peluh, akhirnya aku sampai
juga di sekolah. Meskipun perlu perjuangan, menerobos lampu merah, lewat gang
sempit dengan segala unggas yang berkeliaran. Hampir saja aku menabrak seekor
kucing yang sedang tidur di tengah jalan dan terpaksa bangun lalu lari karena
kaget dengan suara bel sepedaku.
“Pak, jangan digembok dulu!!” kataku dengan
sedikit berteriak kepada Pak Ujang, penjaga sekolah yang bertugas menutup
gerbang sekolah.
“Untung saja belum masuk, neng,” ujar Pak Ujang dengan senyuman ikhlas yang menyejukkan hati.
***
Bel tanda pulang sekolah telah berdering
beberapa menit yang lalu dan aku masih terjebak di sekolah karena hujan yang
datang tiba-tiba dan tak mau memberikan kesempatan bagiku untuk pulang dengan
tidak basah kuyup. Sialnya diriku hari ini, gara-gara kesiangan, aku lupa
membawa jas hujan padahal tadi malam sudah aku siapkan di atas meja belajar.
Satu-persatu temanku telah pulang dan alhasil tinggal aku sendiri menyesali
diri dan berharap hujan akan segera reda.
Karena aku tak tahan untuk pulang kerumah,
tetapi hujan juga belum mau reda, akhirnya aku nekat pulang biarpun kehujanan. Lalu,
ketika aku mau melangkahkan kaki beranjak dari gerbang sekolah, ada seseorang
yang memanggilku. Kutengok kearah suara itu, ternyata Pak Ujang yang
berlari-lari kecil sambil membawa payung ke arahku.
“Kok belum pulang, neng?”
“Sebenarnya, saya mau pulang,” ujarku.
“Bagaimana, kalau pulang dengan saya saja,
meskipun saya hanya punya satu payung” ucap Pak Ujang menawarkan bantuan.
Akhirnya aku menerima bantuannya, daripada aku
harus pulang sendirian, dan kehujanan. Rumah Pak Ujang satu arah dengan rumahku,
tapi kalau dari sekolah, lebih dekat rumahnya dari pada rumahku. Karena melihat
aku menggigil kedinginan, jadi kami berhenti sejenak di rumah Pak Ujang. Rumahnya kecil, bukan maksudku menyombongkan diri. Temboknya pun
dari bambu reot, dan diterangi dengan beberapa lampu yang sudah mulai tua
dimakan usia.
Sesampainya kami di rumah Pak Ujang, kami langsung disambut istri Pak Ujang dan kedua anaknya yang masih kecil.
Bu Iem, istri pak ujang langsung memberikan handuk dan teh hangat untuk kami
berdua.
“Berteduh saja sejenak dirumah kami, anggap
saja rumah sendiri,” kata Bu Iem.
Aku jawab dengan senyuman. Kedua anaknya
mendekat padaku.
“Wah, tas kakak bagus,” kata yang berbaju
kuning.
“Iya,” yang berbaju biru menyahuti.
Bagus? Padahal aku sudah menganggap ini sudah
jelek, meskipun baru beli satu bulan yang lalu.
“Ayo, waktunya ngaji anak-anak,” suruh Bu Iem.
Kedua anaknya yang masih kecil, mungkin masih
sekolah TK. Mereka cepat-cepat memakai sarung masing-masing, sarungnya pun
bekas. Terdengar lantunan ayat-ayat suci yang mengalir begitu saja, seperti
layaknya orang dewasa, mereka membaca dengan fasih. Aku jadi malu pada diriku
sendiri, mereka yang masih kecil sudah rajin baca al-Qur’an. Sedangkan aku yang udah SMP masih belum fasih baca al-Qur’an.
Terlalu.
Tiba-tiba, Bu Iem menghampiriku dengan membawa sepiring
ketela goreng hangat yang
asapnya masih mengepul.
“Silahkan dicicipi, maaf adanya hanya itu.”
“Iya bu, terimakasih,” kataku. Tapi aku tak merasa lapar. Kemudian, kedua anak yang tadi mengaji, langsung
menghampiriku,
“Kakak, aku minta ketelanya, boleh?” tanya si baju biru.
“Oh, iya, ambil aja,” jawabku. Aku memberikan
sepiring ketela goreng pada mereka yang langsung diambil dan dilahab.
Kelihatannya mereka lapar. Kenapa mereka tak meminta yang lain seperti, nasi goreng atau apalah yang lebih enak dari
sekedar ketela goreng. Tapi kalau dipikir, jangankan minta nasi goreng, buat
makan sehari-hari aja susah, karena Pak Ujang hanya bekerja sebagai penjaga
sekolah yang penghasilannya tak bisa dijanjikan dan istrinya tak bekerja.
Mereka tak mengeluh dengan segala yang mereka punya, mereka selalu mensyukuri
apa yang ada. Tak seperti aku! Orang tuaku berkecukupan, tapi apakah aku telah
bersyukur? Aku tak mau sarapan hanya karena lauknya tak cocok. Harusnya aku
sadar bahwa masih banyak orang yang berjuang hanya untuk sesuap nasi.
Sepertinya hujan telah reda, dan hari semakin
sore, waktunya aku pulang ke rumah. Akhirnya aku berpamitan pada mereka semua
dan tidak lupa berterimakasih telah menampungku selama hujan.
Sepanjang perjalanan pulang, kukayuh sepeda
sambil berfikir tentang apa yang aku pikirkan di rumah Pak Ujang tadi. Mensyukuri hidup, itu pelajaran berharga yang aku dapat hari
ini. Baiklah, aku bertekad untuk menjadi orang yang mensyukuri apa yang ada. Dan yang pertama-tama, besok aku akan bangun pagi-pagi,
sungguh!
Noer
Anggadila-XIA
[6 Januari 2013, Senin, pertama kali mejeng di majalah Dian Wara 5]
0 comments:
Post a Comment