weheartit.com |
The Condition
Suasana kala
itu hanyalah sebatas pagi biasa di pertengahan bulan September, tentunya dalam
balutan angin musim gugur yang terkadang bisa menusuk hingga ke sendi-sendi
tulang.
Seorang gadis
memasuki sebuah kafeteria di pinggiran jalan garuso-gil. Ia menenteng tas
selempengan berwarna coklat tua berukuran sedang, setidaknya cukup untuk tempat
dompet, kosmetik, dan beberapa barang yang sering dibawa oleh seorang wanita
pada umumnya.
Setelah pesanan
datang, ia segera menyantap menu sarapannya itu. Sepiring waffle yang
dilumuri dengan sirup maple dan secangkir teh hijau tanpa gula. Sambil
menikmati hidangannya, gadis itu menyapu sekeliling keadaan kafeteria. Meskipun
di luar sedikit berawan, namun matahari tak mau kalah untuk bersinar cerah,
secerah wajah-wajah yang ada di dalam cafeteria itu. Suasana pagi di sebuah kafeteria
yang baru ia kunjungi beberapa kali itu terlihat tidak terlalu ramai, namun tak
pernah sepi pengunjung. Mungkin karena konsep ruangan kafeteria yang tampak
kuno namun elegan atau karena pelayanan yang memuaskan serta para pekerjanya
yang ramah, intinya siapa pun yang datang ke sini akan dibuat senyaman mungkin
hingga enggan untuk cepat-cepat beranjak. Termasuk gadis itu.
Saat sang gadis
ingin melahap potongan terakhir wafflenya, terdengar sesuatu yang
berdering dari dalam tas yang ia letakkan di atas meja, masih satu meja dengan
sepiring waffle dan secangkir the hijaunya. Ia mengambil benda itu yang
ternyata adalah handphonenya dan membuka panggilan yang masuk.
“Ya, halo?”
“Selamat pagi,
sayang! Bagaimana kabarmu hari ini?” terdengar suara perempuan dari dalam
telepon.
“Oemma[1],
aku baik-baik saja. kau terlalu mencemaskanku, padahal aku baru pergi seminggu
yang lalu.” Sang gadis melahap potongan waffle yang tertunda tadi.
“Apakah salah
aku merindukanmu?”
“Tidak, bukan
begitu. Aku hanya tidak mau kau terlalu mencemaskanku. Toh, ini
kulakukan karena pekerjaan.”
Terdengar
helaan napas di seberang telepon. “Entah mengapa, aku selalu merindukanmu.”
“Aku juga.”
Seulas senyum simpul memenuhi wajah gadis itu.
“Semoga kau nyaman
di sana, tapi jangan lupa untuk mengunjungi oemma.”
“Ya, oemma,
pasti! Doakan saja agar anakmu selalu sehat dan dapat menjalankan tugasnya
dengan baik di sini.”
“Baiklah, jaga
kesehatanmu, setelah bekerja segera pulang.”
“Aku bukan anak
kecil lagi oemma.”
“Ya sudah,
semangat untuk hari ini, dah.” Sang lawan bicara mengakhiri telepon dengan
mengecup handphonenya dan gadis itu melakukan hal yang sama.
Setelah
membayar pesanannya, gadis itu langsung melangkah ke luar kafeteria dan
berjalan beberapa meter menuju halte bus yang akan mengantarkannya ke Asan
Medical Center di wilayah Songpa-gu, kira-kira butuh waktu sekitar 1 jam 17
menit untuk mencapainya.
Seperti halnya
kafeteria tadi, rumah sakit ini tidak pernah sepi pengunjung. Suasana kesibukan
dimana-mana. Pada dasarnya, Asan Medical Center merupakan rumah sakit terbesar
di Korea yang dibuka sejak 23 Juni 1989, tidak heran jika setiap harinya selalu
ada kesibukan di rumah sakit ini. Kalau New York disebut kota yang tak pernah
tidur, maka rumah sakit ini akan menjadi rumah sakit yang tak pernah mengantuk
barang sekali pun.
Sudah sejak
seminggu yang lalu, gadis itu dipindah tugaskan ke Asan Medical Center yang
semula ia menjadi dokter di wilayah Yeosu.
Saat hendak
mengunjungi pasien seperti biasa, tiba-tiba banyak perawat dan dokter, ada juga
beberapa pengunjung yang sedang berkumpul di depan salah satu kamar pasien,
bukan termasuk pasien yang ia tangani.
Ada
apa?
Karena
penasaran, akhirnya ia ikut ke dalam kerumunan tersebut.
“Seung Jae,
buka pintunya!” salah satu dokter menggedor pintu yang rupanya terkunci.
Setelah
berhasil menyelinap ke dalam kerumunan, akhirnya gadis itu tahu apa penyebabnya
melalui kaca yang terdapat pada pintu kamar pasien. Ternyata di dalam kamar
tersebut ada pasien yang sedang duduk di pinggir jendela dan pintu kamar
pasiennya dikunci.
Apa
dia ingin bunuh diri?
Gadis itu pun
ikut panik, sedangkan para dokter yang lain memohon-mohon untuk membuka
pintunya, namun tidak ada respon dari sang pasien yang ada di dalam.
Salah satu
dokter berkata, “Bisa gawat kalau dia tiba-tiba loncat dari jendela itu, cepat
ambilkan kunci duplikatnya!” Seorang perawat segera melaksanakan perintah dari
dokter tersebut.
Kejadian ini
cukup menarik banyak perhatian. Semakin lama, semakin banyak yang berkerumun di
tempat itu, jadi para dokter segera membubarkan kerumunan dan tersisa tiga
orang dokter, termasuk gadis itu dan dua orang perawat yang tetap berkumpul di
depan pintu kamar pasien yang terkunci itu.
“Apa yang
terjadi sebenarnya?” Tanya gadis itu.
“Saat kami
ingin melakukan pemeriksaan, tiba-tiba pintunya sudah terkunci dan sang pasien
telah duduk di pinggir jendela tersebut.” Salah seorang perawat menjawab.
Setelah
mendapat kunci duplikat, pintu yang terkunci itu segera dibuka dan mereka
segera memasuki kamar pasien tersebut. Tiba-tiba…
“Tolong
tinggalkan aku sendiri!” Ujar sang pasien dengan nada dingin.
“Tap—”
“Biarkan aku sendiri!”
Seketika semua
dokter dan perawat terdiam dan bingung.
“Kami bisa
meninggalkanmu sendiri asal kau tidak mengunci pintu lagi dan turun dari
jendela itu,” ujar sang gadis.
Pasien itu
terdiam sejenak dan akhirnya mengangguk pelan. Segera para perawat membantunya
turun dari jendela dan memapahnya ke tempat tidur. Setelah itu, semua dokter
dan perawat keluar dari tempat itu sesuai perjanjian. Namun ada dua perawat
yang disuruh mengawasi pasien tersebut dari luar, takut-takut dia melakukan hal
aneh lagi.
Setelah jam
makan siang, beberapa dokter spesialis kanker berkumpul di ruang rapat dokter,
kegiatan rutin untuk mengevaluasi perkembangan para pasien yang telah mereka
tangani.
Ruangan yang
cukup luas, ber-AC, dan nyaman. Meja dan kursi diletakkan dengan sedemikian
rapi ditempatnya masing-masing, berjajar membentuk persegi panjang. Sebuah
ruangan yang dominan dengan warna putih itu seakan tidak pernah terjamah oleh
debu sebutir pun.
Setelah semua
dokter menyampaikan hasil evaluasi masing-masing, saatnya menarik kesimpulan.
“Dari keseluruhan
pasien, hanya ada satu pasien yang bermasalah kali ini,” jelas seorang dokter
laki-laki yang kelihatan masih muda dengan tatanan rambut klimis dan terlihat basah, seperti baru diolesi minyak rambut. Perawakannya
yang tegas dan serius, namun terpancar kelembutan dalam sinar matanya.
Dia
melanjutkan, “Karena tiba-tiba saja dia berbuat nekat saat akan diperiksa rutin
oleh beberapa perawat tadi pagi. Dia mengunci pintu dan duduk di pinggir
jendela, tindakan yang sangat berbahaya.”
“Tapi Dokter
Jang, dari mana dia mendapat kunci itu?” seorang dokter perempuan bertanya. Gadis
itu masih diam mengamati.
“Mungkin
petugas bersih-bersih sedang lalai dengan tugasnya,” sahut dokter yang lain.
Dokter yang
dipanggil Jang itu kembali mengambil alih jalannya rapat.
“Sudah, yang
terpenting adalah bagaimana kita bisa menindak lanjuti masalah ini, kita harus
fokus kepada pasien bukan kepada kunci pintu itu.”
Suasa menjadi
riuh sejenak, para dokter berbisik satu sama lain, mencoba mengungkapkan opini
masing-masing.
“Mungkin dia
sedang mengalami stres,” sang gadis pun akhirnya angkat bicara.
Seketika semua
perhatian tertuju padanya.
“Apalagi dia
buka hanya menderita LLA[2]
, tapi juga mengalami kebutaan, dan menurut informasi yang saya terima, tak ada
kerabat selain orang tuanya saja yang pernah mengunjunginya, itu pun jarang
dilakukan. Bisa jadi dia merasa tertekan dan akhirnya stres.”
Semua
mengangguk-angguk setuju. Kembali para dokter saling berbisik.
“Kalau begitu,
kita bisa memberinya dokter pribadi guna memperhatikan gerak-geriknya lebih
dekat dan lebih sering.”
Lagi, para
peserta rapat mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
“Lalu siapa
yang akan jadi dokter pribadinya?”
Dokter Jang
mulai menimbang-nimbang dan memperhatikan satu-persatu para dokter di sana.
“Aku rasa Dokter
Jung Eun Ji lah orangnya.”
Seketika gadis
itu menatap lurus ke arah Dokter Jang, sedangkan dokter lainnya menatap gadis
itu.
Aku?
0 comments:
Post a Comment