weheartit.com |
Sesuai hasil rapat
kemarin, setelah jam kerjanya usai, Eun Ji tidak bisa langsung pulang ke rumah
karena mendapat tugas tambahan yaitu menjadi seorang ‘dokter pribadi’ Kim Seung
Jae, pasien penderita Leukimia dan kebutaan sekaligus.
Awalnya dia
sedikit mengeluh, kenapa harus dia yang melakukan tugas seberat ini, padahal
diakan hanya dokter baru di rumah sakit itu? Masih ada dokter spesialis kanker
darah lainnya yang lebih berpengalaman tentunya. Tetapi demi pekerjaannya, ia
akhirnya melakukan tugas yang telah di utus pada dirinya itu.
“Annyeong
Hasimnikka[1].”
Eun Ji memasuki kamar pasien Kim Sung Jae dengan seorang perawat yang membawa
nampan berisi obat dan segelas air putih.
Setelah Seung
Jae meminum obatnya sambil duduk di atas ranjang, lantas Eun Ji mempersilahkan
perawat itu meninggalkan mereka berdua. Awalnya Eun Ji merasa gugup karena baru
pertama kali menjadi ‘dokter pribadi’ dalam sejarah pekerjaannya, namun
akhirnya ia memberanikan diri untuk berucap.
Ini
hanya masalah menghadapi pasien baru, tak perlu gugup, Eun Ji.
“Kim Seung Jae,
mulai sekarang aku adalah dokter pribadimu, Jung Eun Ji.”
Ah!
Perkenalan macam apa ini, kaku sekali?
Suasana menjadi
hening seketika, Seung Jae diam tanpa kata dengan tatapan kosong lurus ke depan,
seolah ia sedang berusaha keras mengingat sesuatu dalam diam.
“Jadi mulai
sekarang kau akan diawasi lebih dekat olehku, maksudku kita akan bertemu lebih
sering. In.. intinya seperti itu, jadi mohon bantuannya,” ujar Eun Ji dengan
senyum canggung.
Seung Jae masih
tetap membungkam mulut rapat-rapat.
Mengapa
dia mendadak membisu begini, apakah dia tidak mengerti apa yang aku katakan?
“Apakah kau
mendengarku? Kau tidak sedang tertidurkan?” Eun Ji melambai-lambaikan tangannya
tepat di depan wajah Seung Jae karena respon Seung Jae yang hanya diam saja,
hanya sepasang matanya saja yang bergerak untuk berkedip.
“Aku tidak
butuh dokter pribadi.”
Suasa kembali
hening seketika.
Siapa
juga yang ingin jadi dokter pribadimu?
Tapi Eun Ji hanya menghembuskan nafas panjang dan mencoba bersabar, toh
ini demi pekerjaannya, cita-citanya untuk menjadi seorang dokter profesional.
Eun Ji
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas dokter yang ia kenakan. “Lain
kali, jangan melakukan hal-hal aneh seperti kemarin, semua dokter jadi panik
karenamu. Lagi pula, mengapa kau melakukan hal konyol seperti itu? Mau mencoba
bunuh diri?” Eun Ji mengoceh sambil memerhatikan jendela yang ada di ruangan
itu.
Hanya terdapat
sebuah jendela di ruangan tersebut, ukurannya sepertiga dari ukuran pintu kamar itu. Karena kamar pasien ini
berada pada lantai tiga dan jendela itu menghadap langsung ke taman belakang
rumah sakit yang kini sepi, hanya diterangi oleh nyala lampu-lampu taman karena
hari sudah gelap.
“Aku hanya…
hanya ingin menghirup udara dari luar saja.”
Eun Ji kembali
memerhatikan Seung Jae yang duduk diam di atas ranjangnya. Tatanan rambut hitam
yang terlihat kuyu terkesan seperti orang sakit demam ditambah lagi bibirnya yang
kering, seperti tak pernah minum air.
“Kau terlihat
kusut sekali, apakah kau demam?” Eun Ji mendekat ke ranjang dan meletakkan
tangannya di dahi Seung Jae, memastikan apakah pasiennya benar-benar demam atau
tidak. Tapi ternyata lelaki itu baik-baik saja, meskipun sebenarnya dia tidak
sedang baik-baik saja.
Untuk kesekian
kalinya Eun Ji bertanya, “Apa kau ada masalah? Ceritakanlah saja, jangan dipendam
sendiri.”
Dan sekali lagi
Seung Jae tetap bergeming.
Eun Ji menyerah
untuk membuat pasiennya itu bicara banyak. “Baiklah kalau kau tetap diam
seperti itu, aku anggap tidak ada masalah.” Eun Ji melirik jam dinding yang
sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu ia membantu Seung Jae untuk
berbaring dan menyelimutinya, serta menyuruhnya untuk beristirahat. Dan
tugasnya hari ini telah usai, waktunya dia pulang ke rumah dan istirahat.
Sesampainya di
losmen berukuran 5 x 8 meter tanpa tembok penyekat, Eun Ji langsung meletakkan
tas selempangannya di atas meja dan pergi mandi. Dengan mencoba mengeringkan
rambutnya menggunakan selembar handuk putih, Eun Ji menyiapkan makan malam.
Gadis itu memeriksa isi kulkas, mungkin saja ada yang dapat ia masak. Ternyata hanya
ada beberapa botol air, minuman kaleng, sepotong daging, serta beberapa buah
daun bawang, selebihnya kulkas itu hanya sebuah benda pendingin yang kosong.
Beginilah
hidup diperantauan, kapan aku bisa makan enak?
Akhirnya Eun Ji
memutuskan untuk memasak ramyun[2]
dicampur dengan daun bawang dan beberapa potong daging, serta memasak nasi.
Untung saja ia masih memiliki beberapa bungkus ramyun dan simpanan beras.
Karena di
losmennya itu tidak ada sekat pembatas, jadilah ia menggunakan sekat dari
anyaman bambu yang ia bawa dari rumahnya di Yeosu untuk membatasi antara ruang
makan dan kamar.
Saat Eun Ji
mulai menghidupkan TV, terlintas banyangan tentang Seung Jae yang sedang duduk
diam di atas ranjang, ia kembali mengingat kejadian tadi di rumah sakit. Entah
mengapa ia merasa pernah mendengar suara seseorang yang mirip dengan Seung Jae
sebelumnya. Tiba-tiba ia merasa kasihan dengan keadaan pasiennya itu, penyakit
yang ia derita bukan hanya serius, tetapi juga memprihatinkan. Seung Jae harus
menjalani sisa hidupnya dalam kebutaan. Eun Ji pun teringat akan dirinya di
masa lalu, saat ia juga hidup dalam kegelapan, hanya bisa mengandalkan indera
pendengaran dan perabaan, sisanya ia harus menghafal agar tidak menyusahkan
orang lain, terutama kedua orang tuanya.
Mengingat Seung
Jae menjadikan ia kembali bersedih karena masa lalunya, hampir saja ia
menitikkan air mata. Karena merasa sudah cukup lelah, ia mematikan TV dan
segera pergi tidur agar esok tidak bangun kesiangan. [ ]
0 comments:
Post a Comment