weheartit.com |
Hari-hari
berikutnya menjadi seorang dokter pribadi sudah benar-benar menjadi kebiasaan
bagi Eun Ji. Selelah apapun dirinya, tetap saja menyempatkan untuk menjenguk
Seung Jae.
Ketika dirinya
melewati kamar pasien Seung Jae, tak sengaja ia melihat beberapa orang
penjenguk di dalam kamar tersebut. Sepertinya mereka adalah penjenguk yang lain
dan tak bukan merupakan kedua orang tua Seung Jae. Eun Ji memerhatikan sekilas,
namun tak dapat dengan benar-benar melihat wajah kedua orang tua Seung Jae. Dari
penampilan mereka, terlihat seperti orang-orang pebisnis yang super sibuk,
sangat sibuk. Lagi-lagi rasa kasihan terhadap Seung Jae muncul, akhirnya dia
segera meninggalkan tempat itu untuk melakukan pemeriksaan pada pasien-pasien
lainnya karena ia masih berada dalam jam kerja.
Karena jadwal
yang sibuk, terkadang Eun Ji lupa akan jam makannya, itu membuatnya terserang
penyakit mag. Untungnya, ia segera membeli obatnya di apotek rumah sakit itu
agar dapat segera meredakan penyakitnya saat bekerja.
Eun Ji
meletakkan jas dokternya di lemari kerjanya dan membereskan peralatan dokter
yang berserakan di meja, serta merapikan barang-barangnya yang lain untuk
segera mengunjungi Seung Jae. Namun sebelum itu, terdengar ketukan pintu dan
masuklah seorang perawat yang biasa menjadi patnernya dalam bekerja. Perawat
itu memberitahukan bahwa Seung Jae sudah tidak lagi dirawat di rumah sakit itu,
namun ia memilih untuk menjalani rawat jalan di rumahnya, jadi malam itu Eun Ji
harus pergi ke rumah Seung Jae yang masih berada di wilayah Seul. Setelah
perawat tersebut memberikan alamat rumah Seung Jae, Eun Ji segera berangkat
menggunakan bus umum.
Setelah sampai
di sebuah rumah tepatnya di perumahan elit, Seul, Eun Ji dipersilahkan masuk
oleh seorang pembantu rumah itu. Seketika ia terpana oleh keadaan yang serba
mewah. Setelah dipersilahkan duduk, Eun Ji disuguhi secangkir teh hangat dan
beberapa potong kue. Dia menikmati sekali duduk di kursi empuk serta suguhan
hidangan yang cukup untuk mengisi perutnya. Setelah itu, seorang pembantu
lainnya mengajak untuk pergi ke kamar Seung Jae. Eun Ji sedikit gugup saat
memasuki kamar itu, karena menurutnya itu merupakan wilayah pribadi.
Seperti biasa,
Seung Jae sedang berbaring di kasurnya yang kelihatan cukup besar dan masih
bisa untuk ditempati tiga orang. Pembantu itu hendak membangunkan Seung Jae,
namun Eun Ji mencegahnya. Entah mengapa ia merasa senang melihat Seung Jae
terlelap begitu damainya.
“Apa dia sudah
meminum obatnya?” Eun Ji mendekatkan diri ke kasur Seung Jae.
Pembantu itu
mengangguk dan meminta izin untuk keluar dari kamar Seung Jae. Tak lupa
pembantu itu memberi salam, dan disambut anggukan oleh Eun Ji. Kini ia duduk di
pinggir kasur Seung Jae dan memerhatikan pria yang sedang terlelap itu. Dan
pemikiran itu kembali memenuhi otaknya, berpikir pernah menemuinya, tetapi ia
tak ingat betul kapan.
“Jangan
melihatku seperti itu.”
Eun Ji
terperanjat kaget mendengar Seung Jae yang tiba-tiba berbicara seperti itu.
Karena reflek dia langsung berdiri dari tempat duduknya semula.
“Tak apa,
duduklah di sini.”
Setelah kembali
mengatur nafasnya, Eun Ji kembali duduk di samping kasur Seung Jae.
“Mianata[1],
aku merepotkanmu. Jujur aku sudah bosan satu bulan berada di rumah sakit. Jadi,
aku minta untuk dirawat di rumah saja.”
Eun Ji hanya
merespon dengan senyuman.
“Kau tak perlu
bingung tentang akomodasi, karena supirku akan mengantarmu pulang pergi
nantinya.”
“Gomawo[2],
kau tak perlu repot-repot.”
“Anggap saja
itu sebagai rasa terimaksihku karena kau ingin merawatku.”
Mungkin angin
malam di luar sama dinginnya dengan suhu ruangan di kamar Seung Jae. Eun Ji
sampai-sampai memeluk kedua lengannya. Tak disangka Seung Jae menyadari itu.
“Apa suhunya
terlalu dingin di sini?”
“Ah, tak apa jika
dapat membuatmu tertidur pulas.”
Seung Jae
menyunggingkan senyumnya perlahan.
“Kau tahu, aku
juga pernah sepertimu dahulu.”
Seung Jae
kelihatan kaget mendengar pernyataan Eun Ji barusan, namun ia cepat-cepat
menutupinya.
Dengan
konyolnya Seung Jae bertanya, “Kau dahulu seorang laki-laki?”
“Bukan itu
maksudku! Aku ini dahulunya seorang tunanetra sama sepertimu. Mulai sejak kecil
hingga umurku sepuluh tahun dan setelah itu ada seorang malaikat, entah siapa
yang dengan rela mendonorkan kedua matanya untukku.”
Eun Ji
menceritakan masa lalunya ketika berada di Yeosu, masa kecilnya yang ia
habiskan menjadi seorang anak tunanetra. Kedua orang tuanya yang bekerja
sebagai nelayan dan masih banyak lagi.
“Dan kau tahu,
dulu aku memiliki teman yang sangat baik hati bernama JJ, tapi aku tak tahu
siapa nama sebenarnya, ia tak pernah memberitahuku. Namun karena suatu penyakit
yang parah, ia harus pindah ke Seul, dan sejak itu aku tak pernah melihatnya
lagi. Dan dua tahun kemudian aku
mendapatkan donor mata ini. Andai saja aku tahu siapa pendonor itu, aku
akan sangat berterimakasih padanya.”
Seung jae
mendengarkan dalam diam dan kaget mendengar apa yang telah dipaparkan oleh Eun
Ji. Namun sekali lagi ia berusaha tetap tenang.
“Mungkin itu
alasan mengapa aku cepat beradaptasi denganmu. Jika saja ada JJ di sini, dia
akan memberi semangat padamu, seperti dia yang selalu memberiku semangat dulu.”
0 comments:
Post a Comment