weheartit.com
Hari mulai semakin malam rupanya, namun tak ada satu pun
yang menyadari karena mereka berada di dalam ruangan berlampu yang sejak
kedatangan, ah mungkin sebelum kedatangan Eun Ji sudah menyala terang. Sangat
terang seakan hari takkan pernah berganti.
Eun Ji menatap sekilas Seung Jae. Dengan anggukan mantap,
Eun Ji menjawab, “Tentu saja, aku merindukannya, sangat.”
Seung Jae membenarkan letak duduknya yang kini tengah
bersandar di atas ranjang.
“Memangnya apa penyakit yang diderita JJ?” Seung Jae
bertanya seperti tengah mengorek informasi lebih dalam lagi.
“Aku tak tahu pasti, dia tak pernah mau memberitahuku
setiap kali aku bertanya. Tapi pernah aku melihat hidungnya tiba-tiba
mengeluarkan darah ketika kita sedang bermain di pantai, setelah itu dia harus
istirahat di rumahnya untuk beberapa hari. Jadi aku harus bersabar menunggunya sembuh agar
kita bisa bermain bersama kembali.”
Kedua mata Seung Jae mulai memanas, namun ia berusaha
sekuat tenaga menahannya agar Eun Ji tak melihat. Seperti teringat kembali hal
yang telah lama hilang, ada sesuatu dari pernyataan Eun Ji yang sukses
membuatnya seperti ini.
“Ngomong-ngomong, orang tuamu kemana?”
“Mereka sibuk bekerja. Ah sudahlah, aku mau tidur.”
Ruangan tersebut, kamar Seung Jae, semakin lama semakin
dingin saja. Semua perabot rumah seperti lemari, meja, dan kursi tertata rapi.
Cat tembok berwarna kuning pastel dipadukan dengan beberapa lukisan abstrak yang
kontras.
Tak sengaja, Eun Ji melihat ke arah Seung Jae yang belum
juga memejamkan matanya. Seketika ia heran karena melihat mata Seung Jae yang
berkaca-kaca.
“Ada apa dengan matamu? Kau menangis?”
“Sok tahu.” Langsung saja Seung Jae menutup kedua matanya
meskipun dirinya belum benar-benar mengantuk.
Eun Ji hanya bisa menghembuskan nafas panjang. “Baiklah,
istirahat sana. Aku pulang dulu.”
Setelah hari itu, hubungan Seung Jae dan Eun Ji semakin
akrab, sangat akrab. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Meskipun hanya
sekedar jalan-jalan di taman atau bahkan hingga ke wilayah Garuso-gil sambil
membeli makan atau melakukan hal lainnya, tentunya setelah Eun Ji menyelesaikan
tugasnya. Tentunya Seung Jae dibantu tongkat jalan dan selalu menggandeng
tangan Eun Ji. Mereka juga sering mencicipi jajanan khas Korea Selatan seperti
Tteokbokki[1].
Terkadang Seung Jae lupa akan penyakit yang dideritanya. Penyakit yang sudah
masuk tahap stadium akhir. Tapi berkat Eun Ji, Seung Jae merasa menjadi remaja
normal seperti yang lainnya.
Suatu pagi di hari minggu sekaligus hari libur bekerja,
Eun Ji harus berusaha keras membawa tubuhnya untuk membukakan pintu karena
tiba-tiba saja ia mendapatkan tamu di waktu yang mungkin matahari masih enggan
untuk menaikkan posisinya. Jam di dinding kamar Eun Ji masih menunjukkan pukul
tujuh pagi, dan itu masih terlalu pagi bagi Eun Ji untuk beranjak dari kasur.
Dengan penampilan seadanya, jeans belel selutut dengan atasan sebuah sweater
yang lengannya kepanjangan, serta wajah seadanya dan rambut yang terikat
sekenanya, ia membukakan pintu.
Barulah ia benar-benar bisa terbangun saat mengetahui
siapa tamu yang tega membuatnya terjaga sepagi ini. Seperti baru saja disiram seember penuh air dingin, kedua matanya tak merasakan kantuk
sedikitpun.
“Apa yang kau lakukan datang sepagi ini?”
“Udara pagi itu baik untuk kesehatan, kau sendiri yang
mengajariku.”
“Tapi haruskah hari ini? Hari dimana aku bisa menikmati
waktu yang tersisa dengan bersantai di rumah sebelum akhirnya harus kembali
lagi bekerja besok.”
“Bukankah ini termasuk hak pasien yag harus dipenuhi
toh—”
Sebelum Seung Jae menyelesaikan kalimatnya, Eun Ji telah
menariknya masuk ke dalam losmen dan menyuruhnya menunggu dia mandi dan
berganti baju dahulu.
Hari itu mereka
memutuskan untuk pergi ke wilayah perbukitan. Seung Jae hanya berkata bahwa
dirinya sudah lama tak mendaki dan sekarang ingin sekali mendaki.
Musim panas
tengah singgah di sebagian wilayah di Korea Selatan, khususnya di Seoul. Dan
salah satu tempat yang akan ramai dikunjungi selain pantai adalah bukit, karena
biasanya akan ada beberapa pertunjukan yang digelar di daerah perbukitan.
Karena suhu sangat tinggi, jadilah mereka berdua menggunakan pakaian tipis agar
dapat mengurangi produksivitas keringat.
“Kau ingin
menyiksaku atau apa?!” Terlihat berulang kali Eun Ji menyeka keringat yang
sudah membasahi wajahnya.
Sedangkan Seung
Jae hanya bisa menampakkan senyum jahilnya.
“Kau tak tahu
kalau ini beresiko tinggi, huh?!”
Seung Jae tetap
tersenyum dan cepat-cepat menggandeng tangan Eun Ji, “Lekaslah bergerak!”
Pada akhirnya,
Eun Ji hanya bisa pasrah menuruti permintaan pasiennya tersebut. Tentunya
mereka tidak sendirian datang ke sana, ada supir dan seorang pembantu pribadi
Seung Jae yang juga ikut namun hanya mengawasi dari jauh.
Perlahan, Eun
Ji memerhatikan pria yang menggandeng tangannya itu, rambut hitam legam milik Seung Jae kini telah
kandas karena efek kemoterapi yang ia jalani secara rutin, yang sekarang tengah ditutupi oleh sebuah topi berbulu. Mungkin
penyakitnya belum hilang, namun semakin hari keadaannya mulai membaik, dan
sejauh ini tak pernah terlihat tanda-tanda bahwa penyakitnya akan kambuh
kembali.
Di tengah perjalanan
pendakian, tiba-tiba Seung Jae meminta untuk rehat sejenak. Akhirnya mereka
memutuskan untuk beristirahat di tempat yang telah disediakan.
Seung Jae
maupun Eun Ji, keduanya sama-sama seperti diguyur keringat, segera mereka
meneguk air yang telah mereka bawa dan menikmati perbekalan yang telah
disiapkan dan sedari tadi berada pada tas punggung yang Eun Ji kenakan.
“Apakah kau
sudah puas? Atau mau lanjut mendaki lebih ke atas lagi?” Eun Ji berkata dengan
senyum yang dipaksakan.
“Kau sangat
berambisi rupaya. Sepertinya cukup sampai tempat ini saja, kau ingin pasienmu
menderita?”
“Apa?! Yang
dari awal minta mendaki siapa sih sebenarnya?” Eun Ji mengekspresikan
kekesalannya pada Seung Jae dengan berlaku seperti ingin mencengkram wajah
Seung Jae. Sedangkan Seung Jae hanya bisa tertawa terpingkal.
Setelah keadaan
kembali kondusif, tiba-tiba Seung Jae menjadi serius. Ia memalingkan wajahnya
dari pemandangan sekitar menatap Eun Ji walaupun kedua matanya melihat
kemana-mana.
“Apa yang akan
kau katakan jika seandainya kau dapat bertemu kembali dengan JJ?”
Suasana menjadi
hening. Eun Ji tidak ingin terburu-buru menjawabnya, ia mencoba mengamati
keadaan sekitar yang penuh dengan pepohonan yang rindang, yang tak dapat ia
nikmati di kota.
“Aku? Banyak
yang sebenarnya aku ingin katakan dan tanyakan padanya. Terlampau banyak,
tapi…”
“Tapi?”
“Tapi kadang
aku ragu mengatakan banyak hal padanya, sedangkan bertemu dengannya saja tak
ada jaminan, dan itu sering membuatku kecewa.”
“Tak ada
salahnya berharap. Seperti diriku yang mengharapkan kesembuhan meskipun aku
tahu itu semua juga tidak akan mungkin terjadi. Susah memang, namun aku tak
ingin berlarut-larut dalam kesedihan.”
Eun Ji
tersenyum mendengar kata-kata bijak dari Seung Jae.
“Andai sekarang
ini, di tempat ini juga ada JJ, aku ingin mengatakan aku sangat merindukannya.”
“Hanya itu?”
Eun Ji diam
sejenak dan menatap lekat-lekat Seung Jae
“Jangan pernah pergi
jauh lagi, jangan pernah tinggalkan aku sendiri. Ha ha ha, kedengaran konyol
sekali.”
Kalimat yang
meluncur dari mulut Eun Ji sukses membuat Seung Jae diam terpaku, mulutnya
terbungkam. Kalimat itu bagaikan sebuah lembing yang menohok tepat di dadanya.
Terkadang ia ingin memberitahu semuanya, tapi terkadang ia hanya ingin diam
saja.
Tiba-tiba ada
cairan merah kental yang meluncur bebas keluar dari hidung Seung Jae.
“Astaga,
hidungmu!” Dengan reflek, Eun Ji segera mencari tisu di dalam tas yang ia bawa
dan segera mengusap hidung Seung Jae yang berdarah.
“Sudahlah aku
tidak –,” kalimatnya terputus, Seung Jae jatuh terkapar dan kepanikan menyerbu
seluruh tubuh Eun Ji.
Sejak hari itu,
Seung Jae tak lagi bisa keluar rumah, bahkan ia terpaksa dipindahkan ke rumah
sakit lagi untuk menjalani perawatan yang lebih intensif. Karena keadaannya
koma, tak ada yang diperbolehkan memasuki ruangannya kecuali dokter dan perawat
Seung Jae saja. kebetulan yang menanganinya kali ini bukan Eun Ji, jadi dirinya
hanya bisa mengawasi dari luar ruangan, mengintip melalui celah kaca yang ada
pintu kamar pasien.
Untuk beberapa
hari aktifitas Eun Ji kembali normal, karena untuk sementara waktu dia tidak
lagi menjadi ‘dokter pribadi’ Seung Jae. Jadilah, ia fokus pada pekerjaannya di
rumah sakit saja.
Sore itu,
pekerjaan Eun Ji tuntas lebih awal. Ia memutuskan untuk mengunjungi Seung Jae.
Setelah sampai di depan ruangan Seung Jae, alangkah terkejutnya dia melihat
ruangannya rapi dan kosong, bertanda bahwa tak ada pasien yang dirawat di sana.
Lekas ia tanyakan keberadaan Seung Jae kepada bagian informasi.
“Dia sudah
tidak dirawat di rumah sakit ini lagi sejak beberapa jam lalu.”
“Memangnya ada
apa?”
“Orang tuanya
ingin membawanya ke Amerika untuk mendapatkan perawatan di sana.”
Tanpa pikir
panjang, Eun Ji langsung menuju pemberhentian bus terdekat dan meluncur ke
bandara. Pikirannya kacau, kenapa tak ada yang memberitahunya kalau Seung Jae
akan ke Amerika?
Sesampainya di
bandara ia lari kalang kabut mencari keberadaan Seung Jae meskipun ia tahu
kemungkinan menemukannya sangatlah kecil, namun ia tak lagi perduli. Semakin
kuat ambisinya untuk menemukan Seung Jae, semakin kuat pula rasa putus asa
menyerbunya bertubi-tubi. Akhirnya ia hanya bisa duduk lemas di kursi tunggu.
Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya. Seung Jae kaget dan langsung
menengadahkan kepalanya. Rasa kaget bercampur marah sekaligus senang menjadi
satu saat di depannya sekarang duduklah Seung Jae di sebuah kursi roda, bersama
kedua orang tua Seung Jae.
“Mianata, aku
tak sempat memberitahumu.”
Langsung saja
Eun Ji memeluk erat Seung Jae. Perlahan air matanya meluncur membasahi kedua
pipinya.
“Kami sangat
berterimakasih padamu karena telah merawat JJ selama ini.” [ ]
TAMAT
[1]
Kue beras pedas yang merupakan camilan yang terbuat dari kue beras rebus yang
dipotong-potong dan disajikan dalam saus pedas yang sudah dibumbui.
0 comments:
Post a Comment