CLARITY
Oleh: @noeranggadila
“Selamat ya!” ujarku menyelamatinya, dia tersenyum padaku. Ah, senyum yang selalu menenangkan. Entah sebesar apa kebahagiaannya sekarang, yang jelas lebar sekali senyumnya kali ini.
“Hebat kali kau, tak rugi aku mengenalmu,” celetuk Eja.
“Ah, kau bisa saja.” Dan seperti biasa, dia menanggapinya dengan penuh kerendahan diri.
Suasana kegembiraan di dalam ruangan ini sangat kentara, semua tertawa, semua ikut merasakan kebahagiaan atas kemenangan yang telah ia peroleh sebagai juara pertama dalam perlombaan robot internasional yang diadakan setiap tahun, dialah masternya, Zidan Al-Kahfi.
Para dosen dan mahasiswa bercampur-baur memberikan selamat padanya. Aku turut bahagia, namun ada suatu perasaan janggal yang tiba-tiba menyergapku. Aku memilih menyingkir dari kerumunan dan mengambil air minum.
Seperti biasa, untuk mengusir rasa sepi, aku mengutak-atik iPhone-ku. Rintik hujan rupanya telah berani menempel pada kaca jendela, hujan di luar. Jam berapa ini? Kulihat jam dari iPhone-ku yang otomatis menunjukkan hari, tanggal, dan tahun sekaligus.
Seketika aku teringat sesuatu. Dan Zidan menghampiriku, rupanya para tamu undangan telah selesai dengan acara salam-menyalami, ada yang sedang asyik mengobrol, dan juga menikmati hidangan yang telah dipersiapkan.
“Ada apa?” tanyanya ketika mengerti pada perubahan mimikku.
“Maaf, aku gak bisa lama-lama disini, aku—”
“Ya, aku paham kok, tapi di luar hujan, perlu aku antar?”
“Apakah kau bercanda? Mereka menyempatkan datang untukmu dan tiba-tiba kau meninggalkan mereka begitu saja demi mengantarkan gadis ingusan sepertiku?”
“Membiarkan gadisnya kehujanan, lelaki macam apa aku ini?”
Argh, lagi-lagi ia berhasil membuat pipiku merah.
“Aku bukan anak kecil lagi, Zidan.” Aku mencoba menyembunyikan rona di wajahku.
“Tapi—”
“Di luar banyak taxi kok, tenang aja,” aku menampik tawarannya.
“Tapi jangan hentikan aku untuk mengantar gadisku sampai menemukan taxi yang dia inginkan.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Sebelum aku menemukan taxi yang kucari, Zidan diam sejenak sambil memandangku.
“Apa?” tanyaku tak mengeri.
“Aku akan menyusulmu nanti.” Dan dia memelukku.
Hujan masih belum memunculkan tanda-tanda untuk berhenti, aku kembali mengotak-atik iPhone-ku, lalu mengetik sesuatu. Namun kembali kuhapus, kumasukkan kembali iPhone-ku ke dalam tas.
“Pak, berhenti dulu di Toko Bunga Sundays, daerah Tamrin ya,” pintaku pada sang supir taxi.
“Baik, Neng,” jawabnya.
Sesampainya di depan toko bunga, hujan mulai rintik-rintik, jadi aku nekat keluar taxi tanpa payung karena lupa gak bawa.
Setelah masuk ke dalam, aroma berbagai macam bunga bertebaran. Namun dari sekian banyak jenis bunga, ada satu jenis yang aku cari. Pandanganku berhenti pada sebuah bunga yang diletakkan di dalam pot yang tidak terlalu kecil, namun bisa dibawa dengan satu tangan.
***
“Bunda, Shifa pulang nih..” seruku sambil meletakkan sepatu sekenanya.
“Aduh, Shifa, udah berapa kali Bunda bilang, jangan naruh sepatu sembarangan, kan udah ada tempatnya, kaya anak kecil aja,” sahut Bunda sambil merapikan sepatuku, ada nada kesal dalam kalimatnya, namun aku tak menghiraukannya.
“Iya, maaf deh, lupa.”
“Tiap hari lupa, kapan ingetnya? Terus itu apa? Beli bunga lagi?” sambil mengelap keringat di pelipisnya dengan lengan baju, ia memerhatikan bungkusan yang aku bawa.
“Habisnya lucu sih, hihi,” tuturku sambil nyengir.
“Buat apa beli bunga terus, kalau akhirnya mati kekeringan?” sindir Bunda. Mungkin dia sudah hafal betul kebiasaanku yang satu ini.
Memang awalnya niat buat ngerawat, tapi dua atau tiga hari pasti bakal lupa dan gak ngurusin lagi, dan kalau bukan Bunda yang peduli, nasib bunga itu akan sama dengan apa yang barusan Bunda katakan, mati kekeringan.
“Kamu yang beli, Bunda juga yang ngurusi. Udah tau sibuk, tapi tetep aja gak mau nyadar. Kamu kan tau, Bunda juga harus ngurusi rumah, bersih-bersih, masak, segala macem. Masih mending kalau Bunda inget sama koleksi bunga kamu, kalau nggak udah jadi bangkai semua tuh.” Seperti biasa, mungkin bisa dibilang sangat biasa Bunda akan mengomeliku habis-habisan.
Meskipun begitu, sampai sekarang aku tak jera untuk melakukan suatu hal yang beliau anggap menjengkelkan.
“Bunda tiap hari ngurusin koleksi bungamu, tapi kamunya kapan bisa bantuin Bunda ngurusin rumah. Kamu sibuk melulu sama urusan kuliah, gak hari Minggu gak Senin, sama aja.”
“Yah, habisnya gimana lagi,” rengekku.
“Kamunya aja yang malas, gak pernah mau nyempetin bantuin Bunda."
“Iya-iya, aku bantuin.” Aku beranjak menuju kamarku.
“Loh, mau kemana?”
“Shifa capek, Bund. Shifa tidur dulu ya,” rayuku.
“Baru aja dibilangin, haduh capek Bunda bilangin kamu, gak pernah mau ngerti.”
Beliau lantas melanjutkan memasak untuk makan malam keluarga, sedangkan aku? Aku malah tertidur pulas di kasur empuk. Apa sih yang aku pikirkan saat itu? Argh?!
***
“Maaf, Mba’, ada yang bisa saya bantu?” ujar pramuniaga yang menyadarkanku dari lamunan.
“Ah, iya, aku ingin membeli bunga ini,” jawabku sedikit gugup.
“Anggrek Bulan? Yang warna apa, Mba’? warna ungu, putih, atau yang kuning?”
“Yang ungu satu ya,” jawabku.
Anggrek Bulan warna ungu adalah favoritnya.
Setelah mendapatkan bunga yang aku cari, aku langsung kembali ke taxi yang sudah menunggu. Wah parah! Hujan tak mau berdamai rupanya, utung saja jaket yang aku pakai lumayan tebal.
Ada satu barang lagi yang harus aku beli, maka kusuruh supir taxi berhenti disuatu toko roti langgananku.
Setelah mendapatkan sekotak penuh dengan roti kesukaan beliau, barulah aku langsung meminta supir taxi untuk langsung menuju destinasi terakhir.
Aku mohon, bersabarlah sedikit.
Sial, kenapa juga aku bisa lupa untuk membawa payung, padahal sudah tau sekarang musim hujan. Rintik rupanya hanya pemanis belaka, saat dalam perjalanan, hujan lumayan deras kembali mengguyur kota.
***
“Sudah berapa kali Bunda bilang, kamu harus pinter-pinter jaga kesehatan, udah tau kegiatanmu padat banget, tapi masih aja sembrono.” Dan untuk kesekian kali, Bunda kembali mengomeliku. Entah mengapa, meskipun sudah menjadi mahasiswi semester tiga, tetap saja kelakuan kaya anak SD kelas tiga, ampun.
Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. Apa daya, sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah berbaring menyedihkan di kasur kesayangan. Awalnya Bunda dan Ayah menyarankan aku untuk dirawat di rumah sakit, tapi aku menolak, cukup rawat jalan saja.
Penyakit maag yang kukira sudah tidak akan kambuh, ternyata kembali menyergapku disaat-saat tugas kuliahan makin membabi buta. Aku akui, aku memang suka sembrono, sampai-sampai kebobolan telat makan, dan selamat datang, maag.
Lagi, lagi, dan lagi, aku menambah beban Bunda. Meskipun Ayah turut ikut merawatku, tapi Bundalah yang paling berkontribusi paling besar.
“Kalau sudah begini, Bunda juga kan yang repot.”
Seminggu drop, seminggu pula aku tak luput dari omelan Bunda, but that’s my life!
Pernah kepikiran, kalau aku yang sudah sebesar ini sakit, Bunda paniknya gak ketulungan, apalagi dulu waktu aku masih kecil. Enak-enakan tidur lelap di malam yang tenang, eh tiba-tiba suara tangisan cemprengku membangunkannya, dia bela-belain menghentikan kenyamanannya hanya untuk menenangkanku, agar kembali tidur, kembali tenang.
Drt, drt, drt. iPhone-ku bergetar, tanda ada pesan masuk.
“Kau lupa bawa payung ya...”
Itulah, Zidan. Kadang-kadang dia keras kepala, tapi keras kepalanya itulah yang membuatku nyaman bersamanya.
“Berhenti disini aja, Pak,” kataku saat melihat Zidan dengan payungnya.
Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia meninggalkan acaranya sendiri, aneh.
Setidaknya aku tidak basah kuyup dengan adanya Zidan disini. Ketika hendak menuju ruangan yang dituju, tiba-tiba mimik Zidan berubah menjadi aneh.
“Kamu kenapa?”
“Sepertinya aku butuh toilet deh, aduh,” ujarnya sambil meringis.
Ada-ada saja makhluk yang satu ini.
“Kamu tau letak toiletnya kan?”
“Tau kok, kamu duluan aja, entar aku nyusul.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Saat tiba di depan pintu, ada sedikit keragu-raguan, ada sedikit rasa malu yang tiba-tiba menghantui.
Argh, persetan dengan keragu-raguan.
Kuketuk pintunya dan masuk. Seperti biasa, aroma obat dimana-mana.
“Shifa, kenapa gak beri tau Ayah dulu,” kata Ayah menyambutku.
“Biar surprise, Yah. Bunda belum bangun juga?” kuletakkan bunga anggrek dan kue kukus yang telah aku beli tadi di meja dekat Bunda berbaring.
“Belum, baru aja selesai pemeriksaan dan dikasih obat tidur sama dokter, biar istirahat dulu katanya.”
Aku memandangnya, berbaring lemas dengan infus yang menggantung.
“Mumpung Shifa udah disini, tolong temanin Bunda dulu ya, Ayah mau ambil resep dokter, sekaligus membeli obatnya.”
“Siap, Ayah.”
Tangan halus dan suci
Aku memegang tangannya, lemah, tak bergerak. Tangan lembut yang selama ini setia memegangiku dalam situasi apapun, tangan yang selalu ada ketika aku membutuhkan. Tangan yang dulu setia membelai rambutku saat mau tidur.
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Air mukannya yang teduh dan damai, wajah yang selama kurang lebih sembilan belas tahun tak bosan-bosan melihatku, memberikan senyum tulusnya meskipun aku sering kali mengecewakannya, bahkan mungkin membuatnya menangis, namun sialnya aku tak dapat menyadarinya.
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Sering kali ia membuatku senang, merasa bahagia, tapi kapan aku bisa membuatnya bahagia, membalas semua jasanya? Aku selalu sibuk dan terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, sampai terkadang lupa ada Bunda yang cemas dirumah kalau aku tak segera pulang. Dia yang setia memasakkan makanan, tapi aku malah makan di luar. Meskipun dia selalu mengomel akan aku yang malas membantunya mengurusi rumah, tapi tetap saja dia ikhlas membersihkan kamarku, mencuci bajuku. Anak macam apa aku?
Sadar, menyesal selalu datang terlambat. Setelah Bunda lemah tak berdaya begini baru aku mau menyesal, sadar kenapa dulu aku selalu menyia-nyiakan waktuku bersama Bunda.
Bunda, maafin Shifa. Maaf atas segalanya, maaf belum bisa membahagiakan Bunda, maaf belum bisa jadi anak yang Bunda inginkan, maaf.
Kuciumi tangannya, kucium pipinya.
Tak terasa pipiku basah.
“Bunda, Shifa disini buat Bunda. Meskipun Bunda belum sadar, Shifa sayang Bunda. Bundalah alasan mengapa Shifa ada sampai sekarang. Semoga Bunda diberi umur panjang dan kesabaran, agar Shifa bisa bahagiain Bunda, bisa lihat Bunda bahagia.”
Aku berhenti sejenak, membiarkan pipiku basah.
“Meskipun, Shifa sendiri gak tau kapan bisa buat Bunda bahagia, tapi Shifa janji Bund, secepatnya. Maka dari itu, Bunda cepet bangun, cepet sembuh, biar bisa liat Shifa lulus nanti.”
Aku membenarkan selimutnya yang agak melorot.
“Terimakasih sudah mau menjadi Bunda Shifa, Bunda paling baik sedunia, paling sabar, yang paling bisa mengerti Shifa selama ini. Terimakasih atas segalanya, Aku sayang Bunda, ‘cause you are my everything, mom. Selamat hari ibu, 22 Desember.” [ ]
*HAPPY MOTHER’S DAY*
Terimakasih telah menjadi yang terbaik, tersabar, dan terkuat. Tanpamu, Ibu aku bukanlah apa-apa. –Ela’ dan Anggi :)