Change My Mind
By: @noerfaradila
Model: Niken Wibasari Sanwa
Background: Pantai sebelah Barat, daerah
Ketapang, Probolinggo.
“Sekolah Adiwiyata,” mungkin itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi siapa
saja yang bersekolah disana. Sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang peduli
terhadap kebersihan lingkungan, kesehatan, dan keindahan lingkungan, pokoknya
tentang lingkungan deh. Untuk mendapatkan predikat “Sekolah Adiwiyata” pun tak
gampang. Poin utama adalah peduli lingkungan, bersih, sehat, indah, dan
sebagainya yang berhubungan dengan lingkungan.
“Lho? Kok dibuang ke selokan sih? Kan disana ada tempat sampah,” kata
seorang gadis kepada temannya yang ketahuan membuang bekas bungkus permen ke
selokan.
“Biarin aja, udah terlanjur jatuh, malas gila mau ngambil lagi,” sahut temannya
tak peduli.
Gadis itu pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya atas kelakuan
temannya yang satu ini.
“Lagian, gak ada guru atau pun kader lingkungan yang lihat. Udahlah, gak
usah dibahas lagi, ayo lekas ke kelas.” “Gadis pembuang sampah sembarangan” itu
pun langsung melengos pergi menuju kelasnya.
“Niken, harus sampai kapan sih kamu kaya gini? Hey, tunggu aku dong!” gadis
yang satunya pun segera memungut bekas bungkus permen itu dan memasukkannya ke
dalam tempat sampah, lalu segera menyusul temannya yang ia panggil Niken itu.
“Ayo, Vio!”
Itulah kebiasaan yang memang sengaja dibiasakan oleh Niken, buang sampah sembarangan, meskipun di sekolahnya sudah dipasang seribu rambu untuk membuang sampah pada tempatnya atau tidak membuang sampah sembarangan atau yang lainnya, tetap saja dia tak peduli, menganggap segalanya adalah poster jelek tak berguna. Padalah sekolahnya berlebel “Sekolah Adiwiyata” But, this is life!
Mungkin Niken tak sadar, bahwa ternyata aksinya membuang sampah sembarangan terlihat oleh salah satu kader lingkungan di sekolah itu. Seperti biasa, ia tak lupa menangkap aksi Niken tersebut dengan kamera kesayangannya, karena memang cuma punya satu, Polaroid z2300 yang selalu saja ia bawa kemana-mana, termasuk ke sekolah. Hasil jepretan itulah yang akan menjadi bukti bahwa seseorang ketahuan melakukan pelanggaran yang berhubungan dengan lingkungan, lingkungan lagi!
“Dia lagi.” Sang kader lingkungan itu tersenyum melihat hasil jepretannya pagi ini.
“Bay!” kata sebuah suara.
Dengan reflek, ia lekas memasukkan kamera beserta foto hasil jepretan barusan kedalam tas ransel hitamnya. Kemudian ia menghampiri asal suara yang telah memanggil namanya barusan. Dan mereka pun pergi meninggalkan tempat itu.
***
Bel pulang baru saja berdering, Niken dan Vio pun baru saja keluar dari kelas.
“Kita langsung pulang aja ya,” pinta Niken.
“Oke, tapi sebelum itu kita ke mading lingkungan dulu.”
“Haduh Vio, buat apa sih? Palingan cuma berita tentang pelanggaran, dan
tentunya bukan kita. Udahlah, pulang yuk!” pinta Niken bersikukuh untuk segera
pulang.
Tetapi Vio terus saja berjalan menuju tempat yang dituju, mading lingkungan. Sudah menjadi rutinitas, setiap Sabtu tepatnya saat pulang sekolah, akan ada pengumuman tentang siapa saja yang telah melanggar aturan sekolah selama sepekan dalam bentuk tertulis dan di tempel di mading lingkungan. Disana akan dijelaskan nama lengkap, kelas dan jenis pelanggaran yang telah diperbuat, serta sebuah bukti berupa foto yang diambil secara diam-diam saat mereka ketahuan melakukan suatu pelanggaran.
Niken yang awalnya ngebet banget buat langsung pulang, akhirnya mengikuti apa yang diinginkan temannya itu, mengunjungi mading lingkungan. Meskipun dia optimis bahwa itu hanya membuang waktu saja, hanya melihat pengumuman yang menurutnya tak seberapa penting.
Dan seperti biasa, ada banyak murid yang sedang mengerubungi mading lingkungan, hanya untuk melihat “berita terkini” tersebut. Ada yang tersenyum bahagia karena namanya tak tercantum dalam salah satu pelanggar minggu ini, ada juga yang tersenyum kecut karena aksi mereka tertangkap kamera salah satu kader lingkungan.
“Ramai banget sih?” kata Vio mengeluh karena ia tak bisa menembus kerumunan.
“Seberapa pentingnya sih sampai segitunya,” celetuk Niken.
Sebenarnya, Niken sendiri sudah sering membuang sampah sembarangan, secara terang-terangan atau pun sembunyi-sembunyi. Tapi tak pernah namanya tercantum pada pengumuman mingguan itu. Salah satu alasan mengapa ia tak tertarik untuk melihat pengumuman, karena ia optimis sampai kapan pun namanya tak akan tercantum di pengumuman yang menurutnya tak penting.
“Niken, kesini deh.” Akhirnya Vio dapat melihat pengumuman itu setelah kerumunan berangsur-angsur berkurang.
Dengan langkah malas, Niken berjalan menuju tempat Vio. Dan saat itulah rasa optimis yang telah tertanam dan tubuh dalam dirinya seketika layu, kering, dan mati. Kaget! Tak menyangka di pengumuman itu ada foto serta keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa yang ia lihat sekarang benar-benar gambar dirinya yang tertangkap kamera sedang membuang sampah sembarangan.
“For the first time in forever…” tanpa sadar Niken menyanyikan sepenggal lirik lagu yang ada di film animasi yang cukup booming saat ini, Frozen.
“Tunggu, WHAT?!” akhirnya dia sadar dan kembali kaget.
“Apa aku bilang, kamu sih gak mau dengerin.”
“Tap..tapi, aku kira kemarin gak ada yang lihat selain kamu,” ucap Niken
sedikit terbata-bata.
“Dan, kenyataan berkata lain,” kata Vio sambil menatap Niken yang masih
terlihat tak percaya akan apa adanya.
“Argh! Pengumuman sialan. Siapa sih yang buat?” Niken mengumpat dengan nada
yang sedikit direndahkan.
Vio menunjukkan sebuah keterangan yang berada pada pojok kanan bawah pengumuman tersebut, disana tertera nama pembuatnya, Bayu Prasetya Sidarta/IX-B. Sang pembuat ternyata adalah Bayu, yang merupakan ketua dari kader lingkungan. Ia juga menjadi anak yang cukup populer terutama di kalangan para siswi karena dia dipandang sebagai anak yang keren, cakep, jago main basket menurut mereka, tapi lain lagi menurut pandangan Niken. Di hanya berfikir bahwa Bayu hanyalah orang yang biasa-biasa aja, gak lebih. Sepertinya, dari semua murid siswi, dia saja yang tak pernah tertarik membahas tentang Bayu Prasetya Sidarta.
“Vio, besok pulang sekolah ikut aku bertemu orang ini,” pinta Niken.
“Buat apa?”
“Udah ah, ayo pulang!” Niken langsung menarik Vio untuk lekas pulang.
***
Sejak jam pertama sampai terakhir, Niken lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kelas. Duduk dan menaruh dagunya di meja sambil menutup wajahnya dengan buku.
“Kamu kenapa sih? Seharian ini kelakuannya aneh gitu? Lagi “dapet”?” tanya Vio saat jam pelajaran terakhir telah usai.
“Enggak kok, lagi gak mood aja,” jawab Niken sambil membereskan
buku-buku.
“Oh ya, tadi guru lingkungan bilang ke aku, kalau besok sepulang sekolah
kumpul di depan Green House khusus yang masuk daftar pelanggaran minggu
kemarin.”
“Alamat di kasih hukuman nih,” ujar Niken dengan muka tak bersemangat.
“Udahlah, Ken, kamu yang semangat dong, yang lalu biarlah berlalu, jalani
apa yang ada.”
“Em, sok bijak kamu! Ha ha ha.” Akhirnya ada sedikit tawa di wajah Niken.
Sesuai pintanya kemarin, Niken dan Vio tak langsung pulang, mereka mau ketemu sama yang namanya Bayu Prasetya Sidarta. Dan pas banget! Ternyata Bayu juga belum pulang, dia masih ada di dalam kelasnya, sedang bercakap-cakap dengan teman-temannya.
“Permisi,” kata Vio saat mengetuk pintu kelas IX-B meskipun pintunya tak ditutup.
Dan berhasil membuat pandangan Bayu dan teman-temannya tertuju pada Vio dan
Niken yang sedang berdiri di depan
pintu, bagaikan penerima tamu undangan.
“Ada apa ya?” kata salah seorang dari mereka, tapi bukan Bayu.
“Bisa bicara sama Bayu?” sahut Niken tanpa basa-basi.
“Penggemar baru nih. Ya udah kita keluar dulu,” goda salah satu teman Bayu
dengan berbisik.
“Cie, ehm,” kata teman yang satunya lagi.
“Vio, kamu ikut masuk apa tunggu di depan pos satpam?” Namun sebenarnya
Niken ingin Vio memilih pilihan yang kedua, tapi ia tak enak hati mengatakannya
langsung.
“Aku tunggu di pos satpam aja, dah.” Bagaikan bisa mendengar kata hati
Niken, akhirnya Vio meninggalkan Niken dan Bayu.
Setelah benar-benar hanya ada Niken dan Bayu, walau pun sedikit canggung, namun Niken tetap ingin menjalankan rencananya.
“Apa maksudnya?” Seketika mimik wajah Niken berubah seperti ingin mengatakan “I will kill ya!”
“Maksud apa?”
“Jangan pura-pura gak tau deh, kamu kan yang buat!”
Bayu hanya bisa diam terpaku dengan tampang innocent. Dia hanya bisa melontarkan tatapan cengo kearah Niken. Ketemu aja baru. Bayu mengalihkan pandangannya sejenak menuju jendela kelas, udara di luar masih biasa-biasa aja, tak ada hujan, tak ada badai, tapi ada apa dengan gadis ini, pikirnya.
Karena tak sabar, akhirnya Niken mengatakan intinya, “Kenapa ada fotoku di poster lingkungan hari Sabtu kemarin?!”
Akhirnya Bayu mengerti penyebab gadis di depannya itu marah-marah gak jelas.
“Memang kenapa jika ada fotomu di poster itu? Lagian, yang di foto itu
benar kau kan yang melakukan pelanggaran?”
“Tapi, mengapa kau bisa, kau bisa—” Niken kehabisan kata-kata, semua yang
dikatakan Bayu benar.
“Bisa tau? Aku bahkan tahu kalau bukan kali itu saja kau melakukan
pelanggaran yang sama,” kata Bayu sambil mengangkat salah satu alisnya.
“Eh, tapi aku— ” Niken kelihatan kebingungan mencari alasan.
“Lain kali, jika ingin menyalahkan orang, lihat dulu diri sendiri, udah
bener belom?”
SKAK! Niken diam seribu bahasa, tak terpikirkan jika akhirnya seperti ini,
langsung saja dia pergi tanpa mengatakan apa-apa, tentunya dengan hati dongkol.
Bayu lagi-lagi hanya bisa diam dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Memangnya
semua gadis seperti itu?
***
Inilah pertama kalinya Niken mengunjungi Green House di sekolahnya yang berukuran 4 meter x 6 meter. Itu pun gara-gara hukuman. Lokasinya di samping lapangan basket, biasanya sih hanya sekedar lewat di depannya. Bentuknya menyerupai rumah, hanya ukurannya saja yang lebih kecil dengan atap dari rooftop Dan temboknya dari kaca yang dilindungi rajutan kawat luar-dalam untuk meminimalisir terjadinya kaca pecah. Di dalamnya terdapat banyak sekali tanaman-tanaman hias, mulai dari tanaman berbunga atau hanya mempunyai dahan, dan juga berbagai macam tanaman toga tentunya.
Niken dan 6 murid lainnya yang namanya tercantum dalam mading lingkungan mendapat hukuman untuk membersihkan Green House yang kebetulan mendapat tambahan tanaman baru, jadi harus di tata ulang letaknya. Setelah jam pelajaran terakhir, mereka mulai bekerja. Males gila harus bersih-bersih disini, pikir Niken. Mungkin dia enggan melakukan ini kalau bukan karena hukuman.
“Hati-hati, jangan sampai merusak tanaman atau apa pun yang sifatnya merusak,” kata Rio, salah satu anggota kader lingkungan yang bertugas mengawasi 7 murid yang sedang dihukum itu.
Beberapa tetes keringat jatuh dari dagunya, namun Niken tak menghiraukan lagi, dia hanya ingin cepat menyelesaikan hukuman ini dan lekas pulang. Dia berhenti sejenak dan mengedarkan pandangannya ke lapangan basket. Meskipun udah waktunya pulang, masih ada saja yang tetap berada di sekolah untuk bermain basket, Bayu salah satunya. Kelihatannya mereka menikmati walaupun matahari serasa berada tepat di atas kepala. Sekarang Bayu sedang mendrible bola, melewati siapapun yang menghadang dengan lincah dan dengan gaya slamdunk andalannya, ia memasukkan bola ke ring, masuk! Seketika Niken terpana dibuatnya, segera ia buyarkan lamunan itu dan mulai bekerja lagi.
“Break dulu, Bro!” kata Bayu memberi aba-aba untuk rehat sejenak. Semua kelihatan lelah, tapi mereka merasa senang.
Peluh yang telah menganak sungai tak lagi mereka hiraukan, untung saja mereka memakai baju olahraga. Tiba-tiba pandangan Bayu tertuju pada Green House, dan dia melihat Niken yang sedang menjalani hukuman.
“Aku udahan dulu ya,” kata Bayu sambil membereskan barang-barangnya.
“Mau kemana? Buru-buru amat,” tanya Refan sambil mengelap peluh diwajahnya.
“Ke Green House.” Bayu pun lekas menuju tempat itu dan ia bertemu
Rio yang sedang mengawasi Niken dan 6 murid lainnya.
“Kebetulan banget,” ujar Rio saat Bayu menghampirinya.
“Kenapa?”
“Bisa gak gantiin aku ngawasi mereka, soalnya aku ada acara nih.”
“Oke, sip.” Bayu mengacungkan ibu jarinya, tanda setuju.
“Makasih, Bro!” akhirnya Bayu menggantikan Rio.
Bayu pun tersenyum, sejujurnya dia masih ingin melanjutkan bermain basket, namun karena suatu hal akhirnya ia memutuskan untuk mengganti posisi Rio. Modus? Entahlah.
Sambil mengawasi, ia juga sesekali mengambil gambar dengan kamera Polaroidnya itu. 15 menit kemudian, akhirnya hukuman untuk menata Green House hampir selesai, tinggal meletakkan beberapa pot yang ukurannya seperti timba normal terbuat dari adonan semen.
“Sepertinya sudah hampir selesai, semuanya boleh pulang,” perintah Bayu.
Akhirnya, mereka tersenyum lega bisa menyelesaikan hukuman yang satu ini. Tapi setelah Niken ingin keluar dari tempat hukuman itu, Bayu mencegahnya.
“Mau kemana?”
“Pulang lah, kan tadi situ sendiri yang bilang kalau udah selesai dan boleh
pulang,” ujar Niken menjelaskan.
“Kecuali kamu.” Bayu mengatakannya dengan wajah datar tanpa dosa.
“What?! Kok gitu?”
Keterkejutan Niken membuat murid-murid yang lain kaget dan menoleh kepada mereka berdua.
Bayu cepat-cepat berkata, “Yang lainnya boleh pulang kok.” Akhirnya mereka
semua meninggalkan Green House. Tinggallah Niken dan Bayu.
“Gak bisa gitu dong, mereka boleh pulang, kenapa aku gak? Pokoknya aku mau pulang.” Sambil menggendong tasnya Niken berjalan meninggalkan Green House.
Tapi baru beberapa langkah, Bayu berkata, “Ini termasuk dalam hukuman.
Kalau kau tak mau, aku hanya tinggal mengadu pada guru lingkungan.” Sebenarnya
itu hayalah akal-akalan Bayu untuk mengerjai Niken.
Namun, kalimat terakhir Bayu berhasil membuat Niken mengurungkan niatnya untuk segera pulang. Bukan Niken saja yang takut dengan guru lingkungan, karena guru itu terkenal akan hukuman-hukuman yang ditakuti oleh kebanyakan murid. Sambil memindahkan beberapa pot yang lumayan berat Niken menggerutu, “Kenapa harus aku?”
“Anggap saja itu sebagai hukuman untuk pelanggaran-pelanggaran sebelumnya,” kata Bayu menanggapi.
Niken berusaha tak mengubrisnya. Ia kelihatan kesusahan memindahkan sebuah pot terakhir yang tak terlalu besar tapi berat karena sudah diisi tanah lengkap dengan tumbuhannya.
“Butuh bantuan gak?” kata Bayu menawarkan bantuan.
“Kelihatannya gimana?” ujar Niken ketus.
“Situ gak minta kok.”
Dengan sedikit kesal, akhirnya Niken memintanya, “Bayu, bisa bantu gak, aku
butuh bantuan nih. Puas?!”
“Iya, iya. Gak usah pakai emosi dong, gitu aja marah,” kata Bayu sambil
sedikit cekikikan.
Niken hanya menunjukkan ekspresi sebalnya. Ketika mereka sedang memindahkan pot yang lumayan berat, tiba-tiba seekor cicak melintas disamping sepatunya dan berhasil membuat Niken terkejut setengah mati melihatnya. Tanpa ia sadari pot yang ia bawa jatuh tepat menimpa pergelangan kaki Bayu.
“AWW!!” Bayu yang kaget, reflek memegang pergelangan kaki kanannya yang tertimpa pot tadi.
“Sorry, aku gak sengaja,” ujar Niken merasa bersalah.
Karena UKS udah tutup, maksudnya pintunya udah dikunci, jadi mereka menuju kelas Niken untuk mengambil P3K, karena setiap kelas diwajibkan untuk memilikinya. Dan karena Bayu kesusahan berjalan sendiri, akhirnya ia dibantu Niken menuju kelas dengan meletakkan satu tangan Bayu di pundak Niken. Kebetulan juga sekolah sudah sepi, murid-murid yang tadinya bermain basket juga sudah pulang.
Keesokan harinya, saat jam istirahat, Niken tak sengaja berpapasan dengan Bayu yang jalannya pincang. Kali ini ia memakai sepatu sandal, gara-gara salah satu pergelangan kakinya diperban. Awalnya Niken sempat bimbang, tapi akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Bayu.
“Gimana keadaan kakimu?”
“Lumayan lah, masih sakit sih, tapi lebih mending dari pada kemarin,” jawab
Bayu dengan tersenyum.
“Aku jadi gak enak sama kamu,” kata Niken sambil menundukkan kepalanya.
“Gak usah dipikirin lagi, yang lalu biarlah berlalu. Lama-lama juga sembuh
kok, tenang aja.”
“Emm, cepet sembuh ya, aku duluan.” Niken pun pergi menuju kelasnya, entah
kenapa dia merasa bersalah sekali pada Bayu. Rasa bersalahnya itulah yang
akhirnya menghilangkan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Setiap kali ia
ingin melakukannya, setiap itu pula ia teringat kaki Bayu yang terluka dan ia
pun membatalkan niatnya dan membuang sampah pada tempatnya. Tidak hanya itu,
sekarang Niken jadi sering ketemu Bayu, sering ngobrol, sering bareng, pokoknya
mereka udah kaya berteman dari lahir. Hingga suatu ketika, Bayu memutuskan
untuk menyatakan perasaannya, perasaan yang sebenarnya pada Niken. Mulai saat
itu mereka resmi menjalin hubungan, yang awalnya teman biasa jadi lebih dari
sekedar teman biasa.
***
“Ken, dicari Bayu tuh di depan perpustakaan,” ujar Vio sambil menikmati kentang goreng yang masih hangat dari kantin.
“Oh,” jawab Niken super duper cuek. Dia masih berkutat dengan novel yang ia
baca.
“Lho? Kok jawabnya gitu sih?”
“Ya udah, makasih.” Niken masih tak mau berpaling dari novelnya.
Vio merasa jengkel dengan kelakuan Niken yang satu ini, tak biasanya dia cuek tentang Bayu. Padahal selama ini, Nikenlah yang paling bersemangat kalau bercerita tentang Bayu, tapi ternyata tidak untuk kali ini. Akhirnya Vio merebut paksa novel yang dipegang Niken.
“Lho, kok diambil sih?”
“Kamu kenapa sih? Kenapa tingkahmu jadi aneh gini?” tanya Vio menyelidik.
“Gak ada, aku biasa aja tuh” Niken mencoba merebut kembali novelnya, tapi
Vio tak mengijinkan.
“Kamu biasa aja, tapi tingkahmu yang gak biasa. Lagi ada masalah sama
Bayu?”
Niken diam sejenak sambil mengambil napas dalam, masih belum menjawab pertanyaan Vio.
“Kamu boleh cerita kapan aja kamu mau kok, gak sekarang.” Vio akhirnya mengembalikan novel Niken. Tapi sepertinya Niken sudah tak berniat untuk melanjutkan membacanya. Dia malah menaruh novelnya di dalam tas dan kembali terdiam.
Memang akhir-akhir ini, Niken dan Bayu jarang bertemu, itu bermula karena Bayu sedang sibuk dengan tugasnya sebagai ketua kader lingkungan, terlalu sibuk dengan urusan sekolahnya yang akan mengikuti lomba Adiwiyata tingkat Nasional. Sejak itu, Niken merasa ada yang berubah dari Bayu, terutama sikapnya kepada Niken. Ia merasa, Bayu lambat laun mulai menjauhinya, akhirnya ia pun melakukan hal yang sama. No massage, No Call, No Talk, No Communication!.
“Kamu yakin gak masalah aku tinggal?” Vio dan Niken sedang duduk di halte depan sekolah, tapi ternyata Vio sudah dijemput kakaknya.
“Gak apa kok, lagian kamu kan udah datang yang jemput. Buruan gih sana,
kasihan kan yang nunggu.”
“Kalau gitu, aku pulang dulu ya, senyum dong, Ken”
Niken menunjukkan senyum terbaiknya.
“Nah, gitu dong. Oh ya, jangan lupa besok jam tujuh di lokasi mangrove ya..” Vio tak lupa mengingatkan Niken akan acara sekolah untuk menanam mangrove seluruh kelas IX.
“Sip!” Niken tetap tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke arah Vio.
Pas setelah Vio pulang, Bayu datang menghampiri Niken dan tanpa basa-basi ia langsung duduk disebelah Niken. Suasana jadi hening seketika, keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Seperti tak pernah mengenal satu sama lain, seperti tak pernah ada apa-apa diantara mereka. Akhirnya Bayu memulai pembicaraan.
“Kenapa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku?”
“Lho? Gak salah ya? Bukannya kamu yang berubah? Kamu yang lebih mentingin
mereka dari pada aku, kamu yang mulai gak peduli sama aku!” Niken mencoba
menumpahkan isi hatinya yang telah ia pendam. Emosinya telah ke ubun-ubun!
“Hey! Kenapa main hakim sendiri sih? Terus apa maksudnya tadi kamu gak
ngubris aku yang nungguin di depan perpustakaan?” Sepertinya Bayu pun mulai tersulut
amarahnya.
“Ya itu gara-gara kamu dulu yang mulai, gak pernah balas pesan dari aku,
susah dihubungi, susah buat ketemu!”
“Tapi aku punya alasan, kenapa akhir-akhir ini aku seperti itu!”
“Karena sibuk kan?!”
“Banyak yang harus aku urus sebagai ketua kader lingkungan, apa itu tak
masuk akal?”
“That’s just a bullsh*t reason!” Niken tak lagi bisa menahan
amarahnya. No time to think twice!, pikirnya. Tak peduli pada beberapa
pasang mata yang memperhatikan.
Bayu terdiam seketika, sebenarnya ia pun sama, sama-sama sedang terbakar amarah. Tapi ia mencoba untuk menahannya. Sabar, sabar, sabar. Tanpa pamit atau apa, Niken langsung saja melengos pergi meninggalkan Bayu yang terdiam mematung di halte itu.
Mungkin Niken masih memikirkan hal kemarin, hingga pagi ini pun tak ada senyum di wajahnya. Vio yang menyadarinya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia mencoba untuk tidak bertanya apa pun tentang hubungan Niken dengan Bayu. Setelah pengarahan selesai, semua anggota penanaman mangrove segera menuju ke lokasi yang telah ditentukan.
“Kamu gak salah megang mangrovenya?” Vio menyadari bahwa Niken tak mengindahkan pengarahan tentang cara memegang mangrove yang benar.
“Halah, sama aja kok!” sahut Niken dengan terus berusaha menyeimbangkan
diri berjalan di atas lumpur. Beberapa detik kemudian, kenyataan berkata lain, mangrove
yang Niken pegang tiba-tiba terjatuh dan putus jadi dua.
“Tuh kan! Apa aku bilang,” celoteh Vio.
“Aduh, gimana nih? Masa harus minta lagi?”
“Ya, mau gimana lagi. Sana gih, ambil yang baru, aku mau urus punyaku
dulu.” Vio pergi meninggalkan Niken dan mangrove-nya yang telah putus jadi dua.
Ternyata dari kejauhan, Bayu diam-diam mengawasi Niken. Ia segera
menghampiri Niken yang sedang mengambil bibit mangrove lagi.
“Mangkanya, kalau ada peraturan itu dipatuhi,” celetuk Bayu.
“Darimana kamu tahu?” tanya Niken menyelidik.
“Dari cara megang mangrove yang sekarang aja udah kelihatan kalau salah.”
“Udah tau salah, kenapa gak diberitahu yang bener?” ucap Niken sekenanya.
Bayu mendengus kesal. “Perhatikan baik-baik!” Akhirnya Bayu mencontohkan
cara memegang bibit mangrove yang benar.
“Kalau pegang bibit mangrove itu harus hati-hati, gak boleh sembarangan
biar gak rusak. Sama kaya jalani hubungan, harus hati-hati jaganya. Kalau gak,
nanti bisa rusak, kaya bibit mangrove yang putus jadi dua tadi.”
Niken hanya diam dan mendengarkan sambil mengedarkan pandangannya kelumpur hitam yang sedang ia jejaki sekarang. Bayu pun melanjutkan perkataannya.
“Harus hati-hati, namanya juga masih jadi bibit mangrove, masih lemah, rapuh. Nanti kalau ditanam dengan benar, bisa jadi mangrove yang kuat, kokoh kaya mangrove yang ada disana itu.” Bayu menunjuk pada pohon mangrove yang sudah besar-besar.
Niken memandangi pohon-pohon mangrove yang dimaksud Bayu.
“Hubungan juga awalnya lemah dan rapuh kaya bibit mangrove. Nanem bibit mangrove juga gak cuma ditancapkan ke tanah dan selesai. Tapi harus dikasih penyangga, biar kuat kalo ada terjangan ombak. Jadi intinya, kalau hubungannya mau kokoh, harus bisa jaga baik-baik dari awal. Although, the beginning is always the hardest.”
Tiba-tiba, Rio datang menghampiri mereka berdua.
“Bay, dicari guru lingkungan tuh disana,” kata Rio memberitahu.
“Oke, makasih, bro! Duluan deh, entar aku nyusul.”
Rio pun meninggalkan Niken dan Bayu.
“Udah, jangan dilihat aja, tanam nih.” Bayu memberikan bibit mangrove yang ia pegang ke Niken.
Sampai di rumah, Niken masih tetap diam seribu aksara. Dia masih memikirkan
semua perkataan Bayu tentang hubungan mereka, mencoba mencari arti tersirat dari
setiap kata-katanya.
***
“Vio, aku duluan ya.” Dengan cepat, Niken membereskan semua barang-barangnya ke dalam tas.
“Mau kemana? Buru-buru amat,” tanya Vio keheranan.
“Aku sadar, aku salah.”
Vio terdiam sejenak, akhirnya ia tau maksud dari perkataan temannya yang satu ini.
“Ok, good luck!” kata Vio menyemangati.
Niken pun bergegas menemui orang yang cari. Saat ia ke kelasnya, ternyata tak ada. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari di “tempat tongkrongannya”. Dan ternyata betul! Orang yang ia cari sedang sibuk menjelaskan sesuatu kepada anggota-anggotanya disana. Niken menunggu sejenak hingga akhirnya orang itu menyelesaikan pekerjaannya.
“Bay!”
Merasa namanya dipanggil, Bayu menoleh ke asal suara. Ada sedikit senyum diwajahnya ketika dia tahu siapa sang pemilik suara. Segera ia mengambil ranselnya dan menghampiri Niken.
“Aku, aku mau ngomong sama kamu, tapi kamu udah selesai belum?” kata Niken dengan malu-malu.
“Udah kok, mau ngomong apa?”
“Maaf, aku tahu aku salah, aku egois, maaf…” Niken masih menundukkan
kepalanya, ia tak berani menatap Bayu.
“Aku juga minta maaf, aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri,” ujar Bayu
sambil mengacungkan kelingkingnya.
Akhirnya Niken mendongakkan kepalanya, menatap Bayu sejenak dan mengkaitkan
kelingkingnya dengan kelingking Bayu. Senyum lebar keduanya pun kembali
merekah. [ ]