Wish You Were Here
By: @noeranggadila
Model: Mauludina Fawziah
Background: Bedugul, Bali,
Indonesia
Hening, itulah keadaan kelas. Mungkin telah ditinggal oleh para penghuninya. Tapi tidak dengan Dina. Dia masih saja diam tak berkutik di kursinya. Hanya ditemani oleh benda kesayangan, sebuah laptop berwarna hitam mengkilat. Sibuk berkutat dengan laptop, itulah kebiasaannya setelah pulang sekolah. Salah satu alasannya, tak lain dan tak bukan adalah karena fasilitas Wi-Fi di sekolah berstandard Internasional itu masih menyala.
Tiba-tiba, datang seorang berpostur tinggi dan jangkung menghampiri Dina. Tapi sepertinya itu tak membuat Dina mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Hey! Belum pulang rupanya? Nunggu aku ya…,” goda anak laki-laki tinggi dan jangkung itu.
Namun, Dina tetap fokus pada laptopnya.
“Din…”
Namun, tetap saja Dina tak menghiraukannya.
Anak laki-laki itu pun merasa kesal dengan kelakuan Dina. Tanpa ba-bi-bu lagi, langsung saja ia tutup layar laptop dan saat itu juga laptop Dina pun berhenti bekerja, mati!
“NO!!!” kata Dina dengan sedikit berteriak histeris memandang laptopnya yang sekarang mati gara-gara layarnya langsung ditutup paksa.
Sekarang gantian, anak laki-laki itulah yang diam dengan menampakkan muka datar. Sejurus kemudian, Dina menatap anak itu dengan tatapan sinis.
“ADAM! GARA-GARA KAMU NIH, LAPTOPKU SEKARANG JADI MATI KAN?!”
Tetap saja, anak laki-laki yang di panggil “Adam” itu hanya diam dan masih bermuka datar.
“Kalau ada orang lagi ngomong itu dengerin dong!” kata Dina masih dengan amarah sampai keubun-ubun. Tentu dia tak terima atas perbuatan Adam, udah gak minta maaf, gak ngehargain orang ngomong lagi. Dina mencoba menahan amarah yang ingin ia muntahkan pada Adam, tapi dia berusaha untuk menahannya, menenangkan dirinya.
“Udah selesai marahnya? Yang pertama gak ngehargain orang ngomong itu siapa? Yang pertama diam aja waktu ada yang tanya itu siapa? Dan yang pertama gak dengerin orang lagi ngomong itu siapa?” kata Adam yang nyerocos tak karuan.
Namun yang ada, Dina tetap saja tak mau mendengarkannya dan langsung bergegas pulang. Adam hanya bisa diam dan mencoba untuk sabar. Meskipun mereka satu kelas, tapi perbedaan umur mereka yang hanya beda 5 bulan, labih tua Adam ketimbang Dina tentunya, membuat Adam memperlakukan Dina sepearti adiknya sendiri, meskipun sebenarnya Adam hanya anak tunggal. Tapi ia bisa dibilang pantas untuk menjadi seorang kakak.
Disepanjang perjalanan pulang, mereka berjalan beriringan. Namun, Dina masih saja diam tak bersuara, meskipun berulang kali Adam memanggil namanya. Rumah Adam memang lebih jauh dari rumah Dina, tapi searah, jadi setiap berangkat sekolah dan pulangnya mereka terbiasa bersama. Biasanya perjalanan mereka dipenuhi canda tawa, saling ejek, atau apapun yang dapat membuat suasana tak garing. Tapi, berdeda dengan hari ini, Dina diam karena masih merasa kesal pada Adam, dan Adam diam karena bosan bertanya tanpa ada jawaban.
***
Bel berdering, semua murid telah masuk ke dalam kelas mereka masing-masing, tapi tidak dengan Dina. Ia masih setia berdiri di depan kelas, pandangannnya menyapu sekeliling. Tapi tak ada lagi murid yang berkeliaran di halaman sekolah.
“Kok masih di luar?” tanya Bu Wati, guru IPS yang akan mengisi jam pelajaran pertama di kelasnya hari ini.
Dina tak menjawab, hanya mengangguk dan lekas masuk kelas. Terbesit rasa kecewa di dalam dirinya, karena yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.
Seperti biasa, sebelum memulai pelajaran, guru akan menanyakan kehadiran para murid.
“Ada yang tidak masuk hari ini?” tanya Bu Wati sambil membuka buku absen siswa.
Lalu Edy, sang ketua kelas beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke meja guru untuk memberikan amplop putih kepada Bu Wati.
“Kenapa Adam tak memberitahuku kalau dia gak masuk hari ini? Kenapa suratnya dititipin ke Edy, bukan ke aku? Kenapa?” gumam Dina. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya. Kenapa tiba-tiba Adam gak masuk? Padahal kemarin mereka masih sempat pulang bareng.
Sudah hampir seminggu Adam tak masuk sekolah. Ternyata penyebabnya adalah karena penyakit yang diidap Adam kambuh. Awalnya Dina kaget setelah mendengar hal itu dari salah satu temannya. Jadi, selama ini Adam mengidap Anemia? Kenapa dia baru tahu sekarang? Padahal, Dina adalah teman terdekat Adam, tapi mengapa Adam tak pernah bercerita tentang hal itu?
Sudah hampir seminggu pula Dina memutuskan setelah bel pulang berdering, ia akan bergegas meninggalkan sekolah untuk langsung pulang, namun ia tak akan langsung pulang kerumah. Tapi, ia akan menuju rumah Adam. Dina sudah mencoba mengunjungi rumah Adam, tapi setiap kali ia datang, rumah Adam terlihat sepi, ada gembok yang masih terkunci rapi di pagar rumah Adam. Tapi untuk hari ini, Dina tak lagi mengunjungi rumah Adam, namun ia akan langsung menuju tempat yang dimaksud dalam surat yang sekarang ia bawa. Surat itu dari Adam. Dina mendapatkannya dari anak kelas lain, yang kebetulan rumahnya terletak di samping rumah Adam.
“Temui aku pulang sekolah. Dekat danau, di bawah pohon Bunga Trompet Malaikat”
Dina tahu, dimana tempat yang dimaksud Adam, karena Adam pernah bercerita bahwa itu tempat favoritnya untuk mendapat ketenangan. Memang jarang orang yang mengunjungi tempat itu, mungkin karena tempatnya kurang terurus, banyak ditumbuhi ilalang dan tumbuhan menjalar.
“Adam?”
Sang pemilik nama pun menoleh keasal suara. Adam tersenyum, namun kali ini senyumannya tak seceria senyum-senyum kemarin. Wajahnya tenang, namun sedikit pucat. Sepertinya ia menyimpan sesuatu, sesuatu yang ingin disampaikan.
“Maaf, udah ngerepotin kamu buat datang kesini.” Suara yang telah Dina rindukan, akhirnya ia kembali terdengar.
Namun Dina tak mengubris pernyataan itu. Ia mendekat ke tempat Adam berada sekarang. Bersama, memandangi danau yang tenang di bawah pohon Bunga Trompet Malaikat.
“Kau tak pernah cerita tentang hal ini kepadaku,” ujar Dina memulai pembicaraan kembali setelah hening sejenak.
Adam masih menyapukan pandangannya ke danau yang membentang luas. Lalu ia menatap Dina yang juga menatapnya.
“Aku hanya tak ingin dikasihani, dan membuat teman terdekatku khawatir.”
Dina menunduk seketika. Ternyata selama ini, Adam hanya menganggapnya sebagai teman terdekatnya. Ada satu bagian dari hatinya yang terasa sakit, apakah itu sakit hati? Dina sendiri tak tau harus mendefinisakannya dengan apa. Kalau itu merupakan rasa kecewa, maka sekarang ia tengah menutupi rasa kecewa itu dengan seulas senyum yang dipaksakan terlihat ikhlas. Dan suasana kembali hening. Mencoba menikmati keadaan sekeliling yang tenang dan menentramkan.
Sudah lebih dari dua tahun mereka bersama membuat Dina merasa lebih dari sekedar teman dekat. Sebenarnya sudah lama ia memendam rasa itu, karena sebuah alasan klasik. Dina tak ingin merusak hubungan pertemannannya dengan Adam, yang semakin lama, semakin mendekatkan jarak diantara mereka. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Dina ingin mengetahui perasaan Adam kepadanya. Dan ternyata hari ini, secara tidak langsung Adam berkata bahwa meraka hanya berteman, Adam hanya menganggap Dina sebagai teman.
“Ini buatmu, sebagai permintaan maafku waktu itu,” ucap Adam sambil menyodorkan sebuah coklat batangan kepada Dina.
“Kau memang hebat memilih tempat ini, tenang, sejuk, damai, tapi kenapa harus di bawah pohon Bunga Trompet Malaikat? Namanya boleh juga untuk sebuah bunga nan cantik ini” Untuk sejenak Dina memejamkan matanya, mencoba menikmati suasana.
“Aku merasa, tumbuhan ini unik, karena bunganya merunduk, tak seperti kebanyakan bunga lainnya. Meskipun ada beberapa dari jenisnya yang berbahaya jika sampai disalah gunakan, namun banyak orang yang menanamnya sebagai tanaman hias.” Adam pun menjelaskan dengan panjang lebar, dan sebagai pendengar yang baik, Dina hanya diam dan memerhatikan.
“Dan aku ingin seperti tanaman ini, menutupi kelemahannya dengan kelebihan yang ia punya.” Akhirnya, Adam menyelesaikan ceramahnya.
“Asal tanaman ini dari mana?” Dina kembali bertanya.
Adam tak melanjutkan kata-katanya. Membuat Dina kembali menatap Adam, menebak-nebak apa yang ingin dikatakan selanjutnya. Dengan segenap keberanian, akhirnya Adam melanjutkan perkataannya.
“Mungkin, setelah hari ini, aku gak akan pernah bisa ketemu kamu.” Kali ini Adam terlihat serius.
Namun, Dina tak dapat mencerna kalimat itu. apa maksudnya?
Satu-persatu kata akhirnya dapat dicerna oleh Dina, tapi dia hanya dapat diam tak berdaya. Dia berusaha memastikan dirinya bahwa ini hanya mimpi, ia mencubit tangannya. Namun, meskipun dicubit beratus kali pun, tetap saja takdir takkan terelakkan. Hari yang tak pernah terbayangkan oleh Dina akhirnya datang. Hal yang tak pernah ia harapkan.
“Aku tahu, ini semua sangat tiba-tiba. Awalnya aku juga gak percaya, tapi inilah kenyataannya.”
Ada bulir-bulir yang mendesak keluar dari pelupuk mata Dina, ia coba untuk menahannya, tapi tetap saja bulir-bulir itu memaksa untuk tumpah. Dina tak kuat lagi, akhirnya ia membiarkan bulir-bulir itu mengalir deras, membasahi pipinya. Adam membiarkan Dina menangis dipundaknya. Sebenarnya ia pun tak rela meninggalkan Dina, tapi takdir berkata lain. Adam dan keluarganya harus pindah. Tak tanggung-tanggung, mereka harus menetap di New York.
“Din, Dina?” kata seorang anak laki-laki yang tiba-tiba datang menghampiri Dina yang sedang tertidur dengan posisi duduk di bawah pohon Bunga Trompet Malaikat yang sejuk dan rindang. Sambil menepuk pelan pipi Dina, ia masih berusaha membangunkan gadis itu
Perlahan Dina mulai terbangun dari tidurnya, ia mengerjap matanya guna mengumpulkan nyawa, hingga ia sadar bahwa ia telah tertidur.
“Aku sudah menduga kau akan disini. Kenapa kau selalu datang ketempat ini?” tanya anak laki-laki itu.
Dina terdiam melamun.
“Hello! Kalau ada orang tanya dijawab dong, kebiasaaan!”
Namun Danish berpura-pura tak mendengar pertanyaan dari Dina, ia langsung beranjak dari tempatnya menuju ke sepeda yang telah ia parkir tadi.
“Ayo lekas pulang,” seru Danish sambil berjalan menuju sepedanya yang diparkir berdekatan dengan sepeda Dina.
“Itulah Danish. Kau tahu Adam, dia orang paling menyebalkan, lebih menyebalkan daripada kau. Namun, dia orang yang paling dekat denganku, setelah kau pergi. Bukannya aku masih tak rela, tapi kenapa kau pergi begitu cepat? Kenapa waktu berlalu begitu cepat? Seharusnya sekarang kau disini, menemaniku melihat sunset, seharusnya kau yang mengajakku pulang. Seharusnya kau, Adam, bukan Danish!” kata Dina dalam hati, ia pun masih di tempat yang sama, tak beranjak sejengkal pun.
“Jika kau masih tetap disitu, aku akan meninggalkanmu,” seru Danish yang sudah menaiki sepedanya.
“Jika aku diberi pilihan, aku lebih memilih untuk tetap disini, menunggumu. Aku memang egois. Maafkan aku, jika selama ini aku selalu berharap kau ada disini, disampingku. Tapi itu semua kedengaran konyol, karena aku tahu bahwa kau telah bahagia di surga,” dan lagi, Dina berkata dalam hati sambil menatap lekat ke arah bunga-bunga Trompet Malaikat yang tergantung melambai-lambai ditiup angin.
“Baiklah, aku pulang.” Karena tidak sabar menunggu, akhirnya Danish segera mengayuh sepedanya meninggalkan tempat itu. Meskipun sebenarnya, ia masih ingin menemani Dina, tapi ia berusaha terlihat tak peduli.
“Hey, tunggu aku!” akhirnya Dina beranjak dari tempatnya dan segera menaiki dan mengayuh sepedanya menyusul Danish di depan. [ ]
Siang itu memang terasa terik. Kedua kipas angin masih
tetap berputar pada porosnya. Namun jam di dinding kelas itu menunjukkan pukul
05.00. Kok bisa? Ya, karena baterainya habis, tapi tetap saja dibiarkan
menggantung tak berdaya pada dinding kelas bagian belakang.
Hening, itulah keadaan kelas. Mungkin telah ditinggal oleh para penghuninya. Tapi tidak dengan Dina. Dia masih saja diam tak berkutik di kursinya. Hanya ditemani oleh benda kesayangan, sebuah laptop berwarna hitam mengkilat. Sibuk berkutat dengan laptop, itulah kebiasaannya setelah pulang sekolah. Salah satu alasannya, tak lain dan tak bukan adalah karena fasilitas Wi-Fi di sekolah berstandard Internasional itu masih menyala.
Tiba-tiba, datang seorang berpostur tinggi dan jangkung menghampiri Dina. Tapi sepertinya itu tak membuat Dina mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Hey! Belum pulang rupanya? Nunggu aku ya…,” goda anak laki-laki tinggi dan jangkung itu.
Namun, Dina tetap fokus pada laptopnya.
“Din…”
Namun, tetap saja Dina tak menghiraukannya.
Anak laki-laki itu pun merasa kesal dengan kelakuan Dina. Tanpa ba-bi-bu lagi, langsung saja ia tutup layar laptop dan saat itu juga laptop Dina pun berhenti bekerja, mati!
“NO!!!” kata Dina dengan sedikit berteriak histeris memandang laptopnya yang sekarang mati gara-gara layarnya langsung ditutup paksa.
Sekarang gantian, anak laki-laki itulah yang diam dengan menampakkan muka datar. Sejurus kemudian, Dina menatap anak itu dengan tatapan sinis.
“ADAM! GARA-GARA KAMU NIH, LAPTOPKU SEKARANG JADI MATI KAN?!”
Tetap saja, anak laki-laki yang di panggil “Adam” itu hanya diam dan masih bermuka datar.
“Kalau ada orang lagi ngomong itu dengerin dong!” kata Dina masih dengan amarah sampai keubun-ubun. Tentu dia tak terima atas perbuatan Adam, udah gak minta maaf, gak ngehargain orang ngomong lagi. Dina mencoba menahan amarah yang ingin ia muntahkan pada Adam, tapi dia berusaha untuk menahannya, menenangkan dirinya.
“Udah selesai marahnya? Yang pertama gak ngehargain orang ngomong itu siapa? Yang pertama diam aja waktu ada yang tanya itu siapa? Dan yang pertama gak dengerin orang lagi ngomong itu siapa?” kata Adam yang nyerocos tak karuan.
Namun yang ada, Dina tetap saja tak mau mendengarkannya dan langsung bergegas pulang. Adam hanya bisa diam dan mencoba untuk sabar. Meskipun mereka satu kelas, tapi perbedaan umur mereka yang hanya beda 5 bulan, labih tua Adam ketimbang Dina tentunya, membuat Adam memperlakukan Dina sepearti adiknya sendiri, meskipun sebenarnya Adam hanya anak tunggal. Tapi ia bisa dibilang pantas untuk menjadi seorang kakak.
Disepanjang perjalanan pulang, mereka berjalan beriringan. Namun, Dina masih saja diam tak bersuara, meskipun berulang kali Adam memanggil namanya. Rumah Adam memang lebih jauh dari rumah Dina, tapi searah, jadi setiap berangkat sekolah dan pulangnya mereka terbiasa bersama. Biasanya perjalanan mereka dipenuhi canda tawa, saling ejek, atau apapun yang dapat membuat suasana tak garing. Tapi, berdeda dengan hari ini, Dina diam karena masih merasa kesal pada Adam, dan Adam diam karena bosan bertanya tanpa ada jawaban.
***
Bel berdering, semua murid telah masuk ke dalam kelas mereka masing-masing, tapi tidak dengan Dina. Ia masih setia berdiri di depan kelas, pandangannnya menyapu sekeliling. Tapi tak ada lagi murid yang berkeliaran di halaman sekolah.
“Kok masih di luar?” tanya Bu Wati, guru IPS yang akan mengisi jam pelajaran pertama di kelasnya hari ini.
Dina tak menjawab, hanya mengangguk dan lekas masuk kelas. Terbesit rasa kecewa di dalam dirinya, karena yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.
Seperti biasa, sebelum memulai pelajaran, guru akan menanyakan kehadiran para murid.
“Ada yang tidak masuk hari ini?” tanya Bu Wati sambil membuka buku absen siswa.
“Adam, Bu,” jawab seluruh siswa serentak,
kecuali Dina. Ia hanya terdiam lesu memandang kursi kosong disampingnya, tempat
duduk Adam.
“Ada suratnya?”
Lalu Edy, sang ketua kelas beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke meja guru untuk memberikan amplop putih kepada Bu Wati.
“Kenapa Adam tak memberitahuku kalau dia gak masuk hari ini? Kenapa suratnya dititipin ke Edy, bukan ke aku? Kenapa?” gumam Dina. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya. Kenapa tiba-tiba Adam gak masuk? Padahal kemarin mereka masih sempat pulang bareng.
Sudah hampir seminggu Adam tak masuk sekolah. Ternyata penyebabnya adalah karena penyakit yang diidap Adam kambuh. Awalnya Dina kaget setelah mendengar hal itu dari salah satu temannya. Jadi, selama ini Adam mengidap Anemia? Kenapa dia baru tahu sekarang? Padahal, Dina adalah teman terdekat Adam, tapi mengapa Adam tak pernah bercerita tentang hal itu?
Sudah hampir seminggu pula Dina memutuskan setelah bel pulang berdering, ia akan bergegas meninggalkan sekolah untuk langsung pulang, namun ia tak akan langsung pulang kerumah. Tapi, ia akan menuju rumah Adam. Dina sudah mencoba mengunjungi rumah Adam, tapi setiap kali ia datang, rumah Adam terlihat sepi, ada gembok yang masih terkunci rapi di pagar rumah Adam. Tapi untuk hari ini, Dina tak lagi mengunjungi rumah Adam, namun ia akan langsung menuju tempat yang dimaksud dalam surat yang sekarang ia bawa. Surat itu dari Adam. Dina mendapatkannya dari anak kelas lain, yang kebetulan rumahnya terletak di samping rumah Adam.
“Temui aku pulang sekolah. Dekat danau, di bawah pohon Bunga Trompet Malaikat”
Dina tahu, dimana tempat yang dimaksud Adam, karena Adam pernah bercerita bahwa itu tempat favoritnya untuk mendapat ketenangan. Memang jarang orang yang mengunjungi tempat itu, mungkin karena tempatnya kurang terurus, banyak ditumbuhi ilalang dan tumbuhan menjalar.
“Adam?”
Sang pemilik nama pun menoleh keasal suara. Adam tersenyum, namun kali ini senyumannya tak seceria senyum-senyum kemarin. Wajahnya tenang, namun sedikit pucat. Sepertinya ia menyimpan sesuatu, sesuatu yang ingin disampaikan.
“Maaf, udah ngerepotin kamu buat datang kesini.” Suara yang telah Dina rindukan, akhirnya ia kembali terdengar.
Namun Dina tak mengubris pernyataan itu. Ia mendekat ke tempat Adam berada sekarang. Bersama, memandangi danau yang tenang di bawah pohon Bunga Trompet Malaikat.
“Kau tak pernah cerita tentang hal ini kepadaku,” ujar Dina memulai pembicaraan kembali setelah hening sejenak.
Adam masih menyapukan pandangannya ke danau yang membentang luas. Lalu ia menatap Dina yang juga menatapnya.
“Aku hanya tak ingin dikasihani, dan membuat teman terdekatku khawatir.”
Dina menunduk seketika. Ternyata selama ini, Adam hanya menganggapnya sebagai teman terdekatnya. Ada satu bagian dari hatinya yang terasa sakit, apakah itu sakit hati? Dina sendiri tak tau harus mendefinisakannya dengan apa. Kalau itu merupakan rasa kecewa, maka sekarang ia tengah menutupi rasa kecewa itu dengan seulas senyum yang dipaksakan terlihat ikhlas. Dan suasana kembali hening. Mencoba menikmati keadaan sekeliling yang tenang dan menentramkan.
Sudah lebih dari dua tahun mereka bersama membuat Dina merasa lebih dari sekedar teman dekat. Sebenarnya sudah lama ia memendam rasa itu, karena sebuah alasan klasik. Dina tak ingin merusak hubungan pertemannannya dengan Adam, yang semakin lama, semakin mendekatkan jarak diantara mereka. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Dina ingin mengetahui perasaan Adam kepadanya. Dan ternyata hari ini, secara tidak langsung Adam berkata bahwa meraka hanya berteman, Adam hanya menganggap Dina sebagai teman.
“Ini buatmu, sebagai permintaan maafku waktu itu,” ucap Adam sambil menyodorkan sebuah coklat batangan kepada Dina.
“Kenapa kau masih memikirkan soal itu?”
“Karena aku merasa bersalah padamu.”
“Aku juga minta maaf soal itu, aku terlalu
egois. Tapi, dari mana kau tahu kalau aku suka coklat ini?” tanya Dina sambil
membolak-balik sebatang coklat yang dihiasi pita berwarna biru laut.
“Bukan Adam namanya kalau gak tau apa yang
Dina suka.” Adam tersenyum kembali sambil berusaha terlihat seperti tidak ada
apa-apa. Namun senyum itu yang selalu membuat hati Dina tenang. Dina pun balas
tersenyum.
“Kau memang hebat memilih tempat ini, tenang, sejuk, damai, tapi kenapa harus di bawah pohon Bunga Trompet Malaikat? Namanya boleh juga untuk sebuah bunga nan cantik ini” Untuk sejenak Dina memejamkan matanya, mencoba menikmati suasana.
“Aku merasa, tumbuhan ini unik, karena bunganya merunduk, tak seperti kebanyakan bunga lainnya. Meskipun ada beberapa dari jenisnya yang berbahaya jika sampai disalah gunakan, namun banyak orang yang menanamnya sebagai tanaman hias.” Adam pun menjelaskan dengan panjang lebar, dan sebagai pendengar yang baik, Dina hanya diam dan memerhatikan.
“Dan aku ingin seperti tanaman ini, menutupi kelemahannya dengan kelebihan yang ia punya.” Akhirnya, Adam menyelesaikan ceramahnya.
“Asal tanaman ini dari mana?” Dina kembali bertanya.
“Seperti negara Impianku, Amerika. Hanya
bedanya, negara impianku itu Amerika Tengah, sedangkan bunga ini tepatnya
Amerika Selatan. Dan..”
Adam tak melanjutkan kata-katanya. Membuat Dina kembali menatap Adam, menebak-nebak apa yang ingin dikatakan selanjutnya. Dengan segenap keberanian, akhirnya Adam melanjutkan perkataannya.
“Mungkin, setelah hari ini, aku gak akan pernah bisa ketemu kamu.” Kali ini Adam terlihat serius.
Namun, Dina tak dapat mencerna kalimat itu. apa maksudnya?
“Ayahku dipindah tugaskan ke wilayah New York,
jadi kami sekeluarga memutuskan untuk pindah ke New York. Sekalian melanjutkan
pengobatanku, karena disana tentu lebih lengkap dan canggih.”
Satu-persatu kata akhirnya dapat dicerna oleh Dina, tapi dia hanya dapat diam tak berdaya. Dia berusaha memastikan dirinya bahwa ini hanya mimpi, ia mencubit tangannya. Namun, meskipun dicubit beratus kali pun, tetap saja takdir takkan terelakkan. Hari yang tak pernah terbayangkan oleh Dina akhirnya datang. Hal yang tak pernah ia harapkan.
“Aku tahu, ini semua sangat tiba-tiba. Awalnya aku juga gak percaya, tapi inilah kenyataannya.”
Ada bulir-bulir yang mendesak keluar dari pelupuk mata Dina, ia coba untuk menahannya, tapi tetap saja bulir-bulir itu memaksa untuk tumpah. Dina tak kuat lagi, akhirnya ia membiarkan bulir-bulir itu mengalir deras, membasahi pipinya. Adam membiarkan Dina menangis dipundaknya. Sebenarnya ia pun tak rela meninggalkan Dina, tapi takdir berkata lain. Adam dan keluarganya harus pindah. Tak tanggung-tanggung, mereka harus menetap di New York.
“Din, Dina?” kata seorang anak laki-laki yang tiba-tiba datang menghampiri Dina yang sedang tertidur dengan posisi duduk di bawah pohon Bunga Trompet Malaikat yang sejuk dan rindang. Sambil menepuk pelan pipi Dina, ia masih berusaha membangunkan gadis itu
Perlahan Dina mulai terbangun dari tidurnya, ia mengerjap matanya guna mengumpulkan nyawa, hingga ia sadar bahwa ia telah tertidur.
“Aku sudah menduga kau akan disini. Kenapa kau selalu datang ketempat ini?” tanya anak laki-laki itu.
Dina terdiam melamun.
“Hello! Kalau ada orang tanya dijawab dong, kebiasaaan!”
“Danish, kenapa kau mencariku?” Dina tak
mengubris pertanyaan dari anak laki-laki yang bernama Danish itu, tapi malah
balik bertanya.
“Aku, aku hanya kaw-, maksudku, hari mulai
gelap, dan kau masih mau disini?”
“Kaw-apa?”
Namun Danish berpura-pura tak mendengar pertanyaan dari Dina, ia langsung beranjak dari tempatnya menuju ke sepeda yang telah ia parkir tadi.
“Ayo lekas pulang,” seru Danish sambil berjalan menuju sepedanya yang diparkir berdekatan dengan sepeda Dina.
“Itulah Danish. Kau tahu Adam, dia orang paling menyebalkan, lebih menyebalkan daripada kau. Namun, dia orang yang paling dekat denganku, setelah kau pergi. Bukannya aku masih tak rela, tapi kenapa kau pergi begitu cepat? Kenapa waktu berlalu begitu cepat? Seharusnya sekarang kau disini, menemaniku melihat sunset, seharusnya kau yang mengajakku pulang. Seharusnya kau, Adam, bukan Danish!” kata Dina dalam hati, ia pun masih di tempat yang sama, tak beranjak sejengkal pun.
“Jika kau masih tetap disitu, aku akan meninggalkanmu,” seru Danish yang sudah menaiki sepedanya.
“Jika aku diberi pilihan, aku lebih memilih untuk tetap disini, menunggumu. Aku memang egois. Maafkan aku, jika selama ini aku selalu berharap kau ada disini, disampingku. Tapi itu semua kedengaran konyol, karena aku tahu bahwa kau telah bahagia di surga,” dan lagi, Dina berkata dalam hati sambil menatap lekat ke arah bunga-bunga Trompet Malaikat yang tergantung melambai-lambai ditiup angin.
“Baiklah, aku pulang.” Karena tidak sabar menunggu, akhirnya Danish segera mengayuh sepedanya meninggalkan tempat itu. Meskipun sebenarnya, ia masih ingin menemani Dina, tapi ia berusaha terlihat tak peduli.
“Hey, tunggu aku!” akhirnya Dina beranjak dari tempatnya dan segera menaiki dan mengayuh sepedanya menyusul Danish di depan. [ ]