Down To Earth
I never thought that it'd be easy
Cause we're both so distant now
And the walls are closing in on us and we're wondering how
Cause we're both so distant now
And the walls are closing in on us and we're wondering how
Bau air hujan masih terasa. Namun nyatanya, hujan telah berhenti menetes,
menyisakan bekasnya dimana-mana. Untuk beberapa saat, aku hanya berdiri terdiam
dengan menatap ke arah pintu bercat putih yang tertutup, ya aku sedang berdiri
di depan pintu rumah tentunya. Bimbang.
Namun akhirnya, aku memencet bel beberapa kali dan menunggu. Kembali, kumasukkan
kedua tanganku ke dalam saku hoodie abu-abu yang kukenakan. Sang pemilik rumah
membukakan pintu dan mempersilahkanku masuk. Seketika terjadi keheningan di
antara kami, tak ada yang berniat untuk membuka pembicaraan.
“Maaf telah membuatmu menunggu tadi. Oh ya, kau mau minum apa?” kata sang
tuan rumah menawarkan.
Suara yang telah lama aku rindukan, suara yang sama seperti lima tahun
lalu.“Tidak usah repot-repot, aku hanya sebentar saja,” jawabku dengan seulas
senyum yang seakan dipaksakan, mungkin dia melihatku begitu.
“Kenapa harus buru-buru? Apakah kau tak merindukan Ayah?”
Rindu. Apakah ayah berpura-pura tidak tau? Aku, ibu, kami semua sangat
merindukan Ayah, apakah Ayah tak menyadarinya?! “Kenapa Ayah jarang ke rumah?”
kataku akhirnya mengabaikan pertanyaan dari Ayah.
“Akhir-akhir ini Ayah sibuk, banyak pekerjaan yang harus Ayah kerjakan, kau
tau kan?”
Sibuk. Ya aku hafal sekali gelagatnya yang satu itu. Sejujurnya, tanpa Ayah
beritahu pun, aku sudah tahu. Dan mungkin usahaku hari ini akan berujung
sia-sia, aku yakin itu.
No one has a solid answer
But just walking in the dark
And you can see the look on my face, it just tears me apart
But just walking in the dark
And you can see the look on my face, it just tears me apart
“Oh ya, bagaimana kabar ibumu?” katanya, mencoba menbuka topik pembicaraan
baru.
“Ibu baik-baik saja. Sebenarnya aku ke sini ingin memberimu ini.” Aku
menyerahkan sebuah undangan kepadanya.
“Meskipun aku tau Ayah tak bisa hadir karena terlalu sibuk, setidaknya Ayah
tau sekolahku akan mengadakan pertunjukan musik, dan semua orang tua murid diundang.”
Dia terdiam sambil memandangi undangan itu. Mungkin dia diam menunggu
beberapa saat untuk mengatakan ketidak sanggupannya menghadiri acara sekolahku
atau mungkin, diamnya itu sudah berarti dia tidak akan bisa hadir. Dan kalau
begitu, firasatku benar bahwa dia tak akan sempat untuk menghadirinya. Sebenarnya
aku tahu ia tak akan pernah sempat menghadiri undangan yang aku berikan,
sebanyak apapun itu. Tapi anehnya, aku terus saja memberinya undangan yang aku
dapatkan dari sekolah.
“Sebenarnya…”
“Ayah tak usah repot-repot menjelaskan, aku tahu ayah tak bisa hadir.
Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu.” Aku pun beranjak dari sofa untuk
pulang.
“Jason, tunggu!”
Aku berhenti melangkah. Apakah akhirnya dia ingin mengatakan bahwa dia akan
hadir? Apakah dia akhirnya sadar aku sangat mengharapkannya hadir dalam acara
itu? Apakah Ayah tahu isi hatiku?
“Biar Ayah antar kau pulang,” ujarnya sambil mencoba menyentuh pundakku,
tapi aku menepisnya.
Aku pun tersenyum pahit. “Tidak usah, aku bukan anak kecil lagi.” Setelah
itu aku langsung pergi tanpa menoleh ke arahnya.
***
Mommy, you were always somewhere
And Daddy, I live out of town
So tell me how could I ever be, normal somehow?
And Daddy, I live out of town
So tell me how could I ever be, normal somehow?
Seperti biasa, makan malam hari ini hanya ada aku dan ibu, karena hanya ada
kami berdua dirumah ini, pembantu dan tukang kebun rumah ini sedang ijin. Dan
setiap kali aku mengingatnya, mengingat kesepian ini, nafsu makanku jadi hilang.
Ibu menyadari perubahan itu saat aku mulai memainkan garpu dan sendok di atas
piring.
“Jason, apa yang sedang kau pikirkan, nak?” Itulah suara yang selama 17
tahun setia menemaniku. Dia yang paling mengerti aku, kapan aku bahagia atau
sedang terpuruk, kapan aku jujur atau pun bohong. Jadi percuma saja aku mengelak.
“Ayahmu mungkin sedang benar-benar sibuk, kau kan tau itu.” Ada nada
kerinduan di kalimatnya. Aku tahu, ibu juga menginginkan hal yang sama
sepertiku, ingin ayah kembali, meskipun ia berusaha menyembunyikan hal itu.
“Apakah Ibu akan melakukan hal yang sama?” Sejak lima tahun lalu, tepatnya
setelah ayah meninggalkan rumah ini, ibuku mulai menyibukkan dirinya dengan
usaha toko bunga yang sekarang bukan lagi toko kecil tua yang catnya telah
terkelupas disana-sini. Melainkan toko bunga yang buka sejak pukul tujuh pagi
hingga tujuh malam dengan lima pramuniaganya. Itulah alasan terkadang ia telat
pulang.
“Aku takkan membiarkan anak kesayanganku menyanyi sendiri tanpa dilihat
ibunya.” Sebuah jawaban sederhana yang dapat merekahkan senyumku
selebar-lebarnya. ‘Cause, she is my hero!
“Sepertinya aku ingin makan lagi,” candaku.
You tell me this is for the best
So tell me why am I in tears?
So far away and now I just need you here
So tell me why am I in tears?
So far away and now I just need you here
Setelah makan malam selesai, aku langsung masuk ke dalam kamar dan meraih gitar
yang selalu setia menemaniku bernyanyi, itulah
benda kesayanganku. Ayahkulah yang pertama kali mengajarkan bermain gitar saat
usiaku baru 10 tahun, aku sering berlatih dan akhirnya aku bisa. Gitar ini pula
yang mengingatkanku pada hari itu, ketika aku baru pulang dari membeli gitar
ini karena gitar ayah hilang setelah dipinjam temannya. Aku pulang dengan
bangga karena telah berhasil membawa pulang gitar dengan uang hasil jerih
payahku sendiri.
Rencananya aku ingin cepat-cepat menunjukkan gitar baruku pada ayah, namun
setelah aku membuka gerbang, tiba-tiba aku mendengar kegaduhan dari dalam rumah
dan kulihat ayah keluar dari rumah dengan membawa kunci mobil disusul ibu
mengekor di belakangnya. Mereka sama-sama mencoba mempertahankan opini
masing-masing, ibu dengan tuduhan pada ayah yang kurang menyediakan waktu untuk
keluarga, sedangkan ayah tak mau kalah dengan alasan sibuk dengan pekerjaan dan
bla bla bla.
Lalu mereka berdua menyadari kehadiranku disana. “Apa yang sedang terjadi?”
mereka berdua sama-sama diam dengan pertanyaanku. Lalu ayah segera
menghampiriku.
“Ini yang terbaik, Ayah harus pergi. Jaga ibumu baik-baik.”
Seperti petir di siang bolong, ia membungkam mulutku dengan pernyataannya.
Seketika senyum yang kubawa pulang lenyap seketika, hilang ditelan bumi. Ingin
aku menghentikan langkahnya, namun ia telah menghidupkan mesin mobil dan keluar
dari garasi. Aku tak peduli lagi dengan gitar baruku yang begitu saja aku
jatuhkan, aku hanya berlari untuk menghentikan laju mobil Pajero Sport hitam
itu.
Aku tak lagi memedulikan ibuku yang berteriak agar aku tak mengejar mobil
ayah, pikiranku sedang kacau hingga aku berhenti mengejar karena mobil itu
telah melaju jauh di depan. Aku terdiam cukup lama di tempat itu, sampai
akhirnya aku berjalan kembali kerumah.
So we fight,
Through the hurt,
And we cry and cry and cry and cry,
And we live,
And we learn,
And we try
Through the hurt,
And we cry and cry and cry and cry,
And we live,
And we learn,
And we try
Awalnya aku percaya penjelasan ibu bahwa ayah hanya pergi untuk beberapa
hari saja, tapi akhirnya aku sadar, aku tau alasan dia pergi dan tak lagi
pulang kerumah. Hari demi hari aku mencoba untuk tegar, mungkin aku berhasil
menenangkan diriku, tapi tidak dengan jiwaku yang mungkin tak akan merasa
tenang sebelum beliau kembali berkumpul bersama kami. Mungkin ibu juga sama?
Dia tampak ceria setiap hari, mungkin itu usahanya untuk tidak membuat sedih.
Tapi aku tau, Bu. Aku tau kau pun tak mengharapkan keadaan ini, aku tau kau
sebenarnya terluka, mungkin lebih terluka dari diriku. Intinya, kita sama-sama
memerangi perasaan masing-masing. But, show must go on! Kita sama-sama
mencoba melukis gambar baru dengan kemampuan untuk belajar dari masa lalu.
***
Apa ini permintaan yang terlalu berlebihan? Apa aku terlalu berharap?
Menunggu dan menunggu. Acaranya memang telah mulai sejak 15 menit lalu, dan
sebentar lagi adalah giliranku tampil, tapi dia belum juga menampakkan
gelagatnya. Harusnya aku tidak melakukan ini, harusnya aku tak usah
memedulikannya datang atau tidak, karena pasti akan seperti acara-acaranya
sebelumnya, dia tak akan datang.
“Jason,” kata seorang gadis bergaun hijau lumut menghampiriku.
“Ada apa?” aku membenahkan kerah kemejaku yang sebetulnya sudah rapi.
“Sebentar lagi kau tampil, mengapa kau masih disini?”
“Oh ya, aku hanya sedikit grogi,” kataku sekenanya. Ah! Sebenarnya setiap
kali aku berbicara dengannya itu yang membuatku grogi. Lexi, gadis yang
diam-diam aku sukai, mungkin dia yang selalu dapat melupakan sejenak masalah
hatiku ini. Saat dia tersenyum, untuk beberapa saat masalah yang aku alami
hilang seketika.
“Ngomong-ngomong, kau terlihat tampan malam ini. But, I gotta go, good
luck!”
“Thanks.” Apa aku tak salah dengar? Apakah masalahku terlalu menggangguku
hingga berdampak pada pendengaranku? Tidak, aku yakin aku baik-baik saja.
Apakah kalimat itu hanya sekedar kalimat tanpa makna apapun? Apa dia juga
sebenarnya… Entahlah.
Aku segera fokus kembali, melupakan masalah, melupakan sejenak kejadian
tadi. Aku siap untuk menunjukkan apa yang aku punya.
“Ladies and gentlemen, please welcome, Jason McCan,” panggil sang pembawa
acara tanda waktuku untuk tampil telah tiba.
Segera
aku memasuki panggung, kursi penonton telah penuh dengan penghuninya, dan aku
melihat ibu disana, tersenyum kearahku. Akupun balas tersenyum padanya. Lalu
segera ku ambil gitar kesayanganku yang telah disiapkan dan duduk di kursi yang
berada ditengah-tengah panggung.
“Thank you so much to every single one of you for coming to this show, we
hope you all enjoy this. This song dedicate to someone out there, I hope he
would see me,” kataku sebelum memulai bernyanyi. Entah kenapa, kata-kata itu
meluncur begitu saja.
I felt so far away,
From where we used to be,
And now we're standing,
And where do we go,
when there's is no road
to get to your heart?
Lets start over again!
So it's up to you,
And it's up to me,
And we meet in the middle, on our way back down to earth,
Down to earth, (down to earth)
Down to earth,
On our way back down to earth,
From where we used to be,
And now we're standing,
And where do we go,
when there's is no road
to get to your heart?
Lets start over again!
So it's up to you,
And it's up to me,
And we meet in the middle, on our way back down to earth,
Down to earth, (down to earth)
Down to earth,
On our way back down to earth,
Tak
terasa ada bulir-bulir hangat yang mendesak keluar dari pelupuk mataku seiring
dengan berakhirnya petikan gitarku, tapi aku segera menghapusnya. Kuharap
mereka tak menyadarinya. Para penonton bertepuk riuh. Aku membungkukkan badan
tanda penampilanku telah usai. Aku tak berniat untuk menonton
penampilan-penampilan teman-temanku yang lain, aku ingin sendiri dulu.
Tak peduli sedingin apa malam ini, aku masih betah berdiam diri
ditemani gitar kesayanganku. Jari-jemariku mulai memetik senar dengan nada-nada
rancu. Mungkin mulut bisa berbohong, tapi hatiku tak bisa.
Tiba-tiba
seseorang mengagetkanku.
“Ternyata kau disini,” ujar Lexi
berdiri sejajar disampingku.
Sebenarnya aku ingin mengatakan
sesuatu, tapi nyatanya aku hanya menjawabnya dengan seulas senyum, aku harap
dia tak tau yang sebenarnya. Kulirik jam tanganku, tapi acaranya belum berakhir.
“Penampilanmu tadi keren, seperti
biasa.”
“Thanks!” Setiap kali dia
memujiku serasa aku tak pernah kenal rasa sedih. Aku ingin membalas memuji
balik, tapi aku bukan seorang pujangga, aku bukan seorang pemuda dengan seribu
kata-kata manis yang dapat membuat setiap gadis yang mendengarnya
klepek-klepek. Tidak, aku tak seperti itu, aku hanya mencoba menjadi apa
adanya.
Suasana menjadi hening seketika,
masing-masing sibuk dengan pikiran masing-masing. Seharusnya aku yang harus
memulai pembicaraan basa-basi untuk cepat-cepat mengusir hening, tapi seperti
yang kubilang tadi. Dia pun tak protes karena aku tak menanyakan sesuatu
padanya, satu hal yang aku suka darinya.
“Boleh aku bertanya sesuatu.”
Akhirnya dia bertanya lagi.
“Apa?” aku menoleh ke arahnya yang ternyata
dia juga menatapku.
“Akhir-akhir ini kau sering
menyendiri, ada apa?”
Aku mengalihkan pandanganku
menerawang ke depan. Andai angin bisa bicara.
Lalu, cepat-cepat dia berkata,
“Kalau kau keberatan aku mengetahuinya, tak masalah kok.”
“Ini tentang Ayahku.” Aku menoleh
padanya lagi, lalu tersenyum.
Hening kembali. Sepertinya dia
mengerti makna tersirat dalam jawabanku tadi, aku sedang tak ingin, benar-benar
tak ingin bercerita sekarang sekalipun pada orang yang aku, aku suka.
Sebenarnya aku tak pernah bercerita tentang masalahku ini pada siapa pun selain
Ibu tentunya.
“Aku lihat mereka di dalam tadi.”
“Mereka?”
“Ibumu dan Ayahmu tentunya.”
Apa pikiranku mengganggu
pendengaranku? Apa aku bermimpi? Apa dia benar-benar mengatakannya tadi? Tapi
sungguh, selama aku tampil, aku hanya melihat Ibu, tidak dengan Ayah.
“Dia tak bisa datang, seperti
biasa.” Sungguh, aku masih tak percaya yang satu ini, meski Lexi yang
mengatakannya.
“Aku malah sempat berbincang
dengannya tadi, Jason McCan.” Dia menekankan kata-katanya saat menyebutkan
namaku. Aku memalingkan tubuhnya menghadapku, sejujurnya aku tak sadar telah
melakukannya.
“Kau masih tak percaya, jam berapa
sekarang? Dan jangan tanya kenapa,” suruhnya.
“Pukul sembilan,” sahutku tak
mengerti maksudnya.
“Lihat mereka disana.” Aku menoleh
ke arah yang ia maksud, diantara para tamu yang keluar karena acara telah usai.
Dan tiba-tiba Lexi mencubit lenganku. Aku mengerang kesakitan.
“Berarti kau sudah bangun.”
Mereka yang Lexi maksud
menghampiriku.
“Ayah…” Hanya kata itu yang berhasil
keluar dari mulutku.
“Tante, Om, Lexi permisi dulu ya,
udah ditunggu soalnya.”
“Kenapa buru-buru,” sahut Ibuku.
“Saya pamit dulu.” Dia meninggalkan
kita bertiga.
“Kukira…” Lagi-lagi aku tak dapat
menyelesaikan kalimatku.
“Ayahmu datang demi melihat
penampilanmu, Jason,” jelas Ibuku. Aku menoleh ke arah Ayah. Dia mengangguk.
Sejujurnya aku ingin berteriak, tapi disini masih ramai, jadi kuurungkan niatku
itu. Mungkin aku egois, tapi apakah waktu bisa berhenti sekarang juga?
Tiba-tiba hujan turun.
“Sebelum hujan lebat, ayo kita
pulang, pulang ke rumah tercinta,” ujar Ayah kemudian.
I never thought that it'd be easy,
Cause we're both so distant now,
And the walls are closing in on us and we're wondering how?
Tamat.
Keterangan:
Lagu Inspirasi : Down to Earth.
Durasi : 4:05 menit.
Album : My World.
Pencipta : Justin Bieber, Midi Mafia, Mason Levy, Carlos Battey, Steven Battey.
Penyanyi : Justin Bieber.
Tanggal
rilis : 17 November 2009 oleh Island
Record.
Video Inspirasi: Justin Bieber - Down To Earth (Music Video) By Jardc87
Video Inspirasi: Justin Bieber - Down To Earth (Music Video) By Jardc87